Jumat, 17 Oktober 2008

Beberapa Ponsel Mengajaknya Makan Siang

T.WIJAYA

Aku membuka bungkus permen, saat mereka menceritakan ilmu pengetahuan yang mahal. Asap rokok itu menghisapku. Seperti perempuan-perempuan nakal yang
memberiku susu dan nasi bungkus.
Permen kutelan. Dingin. Mataku berbeda dengan mata mereka. Bau mulutku pun dibenci ketiak mereka. Kami tidak sama di tepi Sungai Musi ini. Dan, aku tidak tahu bagaimana limbah amoniak itu merusak otakku yang selalu gagal menghitung tangga di meja belajar.
Permen habis kuhisap. Mereka terus menceritakan ilmu pengetahuan yang mahal.
Setiap gerak mulut mereka, abahku batu berdahak. Kental dan bernanah. Hanyut ke hilir dimakan seluang-seluang yang tidak pernah sekolah. Siapa presiden malam ini.
Sebaiknya, mungkin, kukumpulkan bungkus permen sekota ini. Kumasukan ke mulut mereka. Membusuk. Dan aku pergi bersama mobil mereka. Tabrak Ayam, tabrak batu, tabrak babi, tabrak angin, tabrak toko pakaian yang selalu diceritakan istriku.
Sapi. Sapi jiwaku yang ingin berenang mengejar pakaian dan buku sekolah anakku.
Air mata dari panci, kasur kapuk, perahu, dan tiang-tiang kayu gelam mengasinkan Sungai Musi.
Mulut mereka tidak suka. Mereka menyulingnya dengan mesin dari Jerman. Aku tidak benci Michel Ballack! Tapi mengapa ilmu pengetahuan itu mahal, meskipun di Sekolah Dasar panggung dengan seorang guru honor yang berdoa agar dilamar perwira TNI.
Aku kembali membuka bungkus permen. Mereka terus bercerita. Mulut mereka membesar. Membesar. Pintu menuju neraka.

2004

0 komentar:

Video MUSI MENGALIR

Slide Keluarga