Sabtu, 28 Februari 2009

Sajak T.Wijaya

Nelayan selalu gagal menangkap presiden di sungai Musi.
Mereka kelaparan tiap sore hari. Hampir satu abad ikan-ikan disantap presiden. Tapi mereka selalu memilih presiden.
Mereka tidak membenci Belanda yang mengajari adanya presiden. Mereka ingin menjadi Belanda yang berenang di sungai Musi. Mereka ingin beristrikan Belanda, yang menari di tepi sungai Musi.
Nelayan selalu kalah menangkap presiden si sungai Musi.
Jala mereka hanya menangkap udang, kecil-kecil.

2009

Minggu, 15 Februari 2009

Pemilu Indonesia 2009

Sajak T.WIJAYA

Pemilu Indonesia 2009, orang-orang kian asing. Memilih bukan pilihan. Melulu orang asing menulis surat kepada partai politik. Isinya tentang kami menjadi pengemis. Berbaris sakit di sepanjang gang dan anak sungai: Beras lima kilogram atau uang buat membangun masjid.

Pemilu Indonesia 2009, kami terkagum dengan Obama. Dia seperti nabi yang lahir dari meja redaksi media massa. Menidurkan beberapa menit pemain sepakbola di televisi.

Tetapi, petani yang menyerupai ikan-ikan rawa masih berharap seperti burung. Bebas menyemaikan padi hingga rumah menjadi batu pualam. Mengusir orang asing yang memberi gaji pada partai politik.

Mungkinkah mempertahankan harapan dengan membuang lima kilogram beras? Soekarno dan Soeharto sesungguhnya luka yang memberi candu.

Tetapi, buruh yang menyerupai lipas-lipas tanah masih berharap menjadi buruh. Bebas membungkus makanan instan dalam jam-jam kebahagiaan, kemudian membunuh orang asing menikahi pemilik pabrik.

Mungkinkah mempertahankan harapan dengan membuang uang buat membangun masjid? Obama semacam candu abad pertengahan di nusantara.

Pemilu Indonesia 2009, televisi panik, koran panik, jalanan panik. Tetangga, saudara, teman, ayah dan ibu, kian menjadi asing. Maka kupilih keasingan yang ditakutkan Obama.

2009

2009

Yang Lapar Berulang-ulang

Sajak T. WIJAYA

Aku lapar berulang-ulang di rumah makan. Tidak seperti yang kau bayangkan. Dia selalu datang. Menatapku, tapi tidak mencintaiku. Dia memberi hari esok, yang kubenci, seperti aroma dapur rumah ibu. Orang-orang menatap kami meskipun matanya harus menyeberangi sungai dipenuhi amoniak. Lalu orang-orang mati, menghantam dinding rumah makan. Sesungguhnya mereka mati berulang-ulang.
Aku lapar berulang-ulang. Merobek, menghisap, memakan, dan tidak pernah memuntahkan janin-janinku. Dia setia datang. Menciumku, tapi tidak mencintaiku. Leherku penuh kunyahan ikan yang tidak halus. Mulutnya membuatku tidak pernah berhenti mengunjungi rumah makan. Lalu perahu tongkang merampasku, membanting tubuhku bersama ikan-ikan dari laut sampai pagi merobek lambungku, yang lapar berulang-ulang.

2009

Video MUSI MENGALIR

Slide Keluarga