Senin, 11 Mei 2009

Lupakan Indonesia

Sajak T.WIJAYA

DI dalam angin kamarmu, selain kedinginan juga kesadaran yang meloncat-loncat terhadap Indonesia yang dirumuskan para guru. Kita mau ke mana setelah meninggalkan ruang belajar ini? Tanyaku. Kau berdiri. Menciumku. Memelukku. Akhirnya bercinta dengan mengeluarkan keringat penuh aroma, seperti kali pertama kita bertemu di facebook itu. Tapi menjelang di puncak, kau melompat seperti terjebak di kandang kambing.
Sekarang Indonesia sudah bubar. Mengapa kita harus membangun kembali Indonesia? Mengapa kita harus sibuk membicarakan sejarah Tan Malaka, Bung Karno dan Bung Hatta? Kenapa? Sadarlah. Peluk saja tubuhku berabad-abad, lupakan Indonesia.
Perempuan yang bernama Susi itu berlari meninggalkan ruang belajar. Dia menembus segala rawa, perkampungan miskin, bukit terkikis, lorong-lorong yang busuk, hutan yang pitak, sambil mengibarkan bendera merah-putih. Tak ada yang mencegahnya, dan tidak ada juga yang bertepuk tangan. Ada beberapa orang yang memperhatikan tubuh Susi. Tak ada yang luar biasa buat mereka. Sekumpulan tulang yang dibungkus daging.
Tak ada Indonesia. Sungguh tidak ada Indonesia dari tubuh Susi. Mengapa kita harus memperhatikan tubuhnya? Kata mereka. Mereka yang penuh kata. Mereka yang terus mengamalkan ajaran Indonesia.

ANGIN pergi dari kamarmu. Panas. Pengap. Seseorang yang disebut Asep berzikir bersama kipas anginnya. Usianya 65 tahun. Tangannya tidak membengkak. Bahkan dari tangannya keluar cairan coklat yang membuat mereka yang belum pernah melacak Indonesia terangsang. Memetakan surga. Menutupi pori-pori tubuh Susi. Susi tidak dapat berlari. Dia dibungkus berlapis-lapis kain. Putih. Hijau. Merah. Kuning. Putih. Hitam. Merah. Biru. Putih. Hijau. Biru. Kuning. Hitam. Coklat. Putih.
Inikah Indonesia? Tidak. Mengapa? Tanyaku. Ya, tak ada tempat buat mereka yang berdosa, yang melulu memuja angin menari di kamar.
Susi harus dihukum? Tidak. Mengapa? Tanya Asep. Dia pernah membusuki Indonesia, sehingga kita menjual Indonesia.
Asep mengusap kepalaku. Katanya, Indonesia tidak dijual. Kita belum pernah membangun Indonesia. Yang terjadi, proposal Indonesia yang kita bakar bersama miliaran barrel minyak bumi, dan jutaan hutan yang membara.
Kini aku yang berlari. Berlari. Menembus bagian terdalam dan terlembek dari sumsum tulang kepalaku. Oi, ternyata Indonesia hanya semacam mimpi dari kebangsaanku, yang kanyut 23 abad lalu dari tanah Tiongkok.

MAAFKAN aku, Susi. Maafkan. Tapi, maukah melanjutkan persetubuhan itu? Aku sudah terlalu mabuk dengan aroma tubuhmu. Lihatlah, wajahku penuh gunung yang dilapisi debu kota. Bebaskan Indonesia dari pikiranmu. Biarkan Indonesia dibangun Asep. Kipas anginnya pasti menyejukan kita setelah persetubuhan ini. Mesin kapalku menyala. Besi-besi kapalku membara. Kusentuh Susi. Susi terbakar. Susi melepuh. Aku menyetubuhi inti api. Begitu banyak Indonesia di dalam kehangusannya. Dan, seperti dugaan orang miskin, tak ada Asep bersama kipasnya.

Maafkan aku, Susi. Coba maafkan. Anak-anak kami yang baru direncanakan, terjebak dalam sejarah Indonesia. Lupakan Indonesia. Mungkin.

2009

0 komentar:

Video MUSI MENGALIR

Slide Keluarga