tag:blogger.com,1999:blog-71549299423440769702024-03-05T05:50:56.428-08:00t.wijayaT. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.comBlogger77125tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-20131954792970242842010-12-03T19:19:00.000-08:002010-12-03T19:24:53.458-08:00Pada Tiga Kolam Ikan, Aku Sembunyikan AmerikaSajak T. Wijaya<br /><br />Aku pamrih pada ikan gurami dan lele, yang tumbuh di tiga kolamku. Setelah kuberi makan berpuluh kilogram pelet dan sayuran, pada waktunya kumakan dan kujual. Pangan kami. Tapi bulan di atas atap pondok ini tidak setia lagi. Dia menyampaikan pada penduduk New York, apa yang kami keluhkan mengenai pangan hari ini. Dia pun tak mampu menepiskan awan hitam yang sebentar lagi memberi hujan dan petir.<br />Tuhan, masukilah ikan gurami dan lele buat berkembang menjadi jutaan dan membesar, sehingga kami dapat sembunyi dari Amerika Serikat. Pangan kami.<br /><br />Pangan kami.<br />Kami.<br /><br />2010T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-82353895366737964152010-03-22T13:27:00.000-07:002010-03-22T13:30:10.481-07:00Gol, Tunjukkan Surga PadanyaSajak T.WIJAYA<br /><br />Ayahku kehilangan bolanya. Belum juga gugur paku, gergaji, dan kegilaan ingin membunuhnya, dari sang istri yang ketakutan atas kemiskinan, di lapangan hijau ini. Ayahku melewati takdirnya. Dia disumpah miskin saat menggiring bola. Bola yang ditendangnya tetap ditulisnya: Tuhan, ampuni segala dosa istriku. Biarlah gergaji, paku, yang keluar dari mulutnya menjadi kaca akan ketakutannya. Tunjukkan surga padanya.<br /><br />Ayahku menendang lagi bolanya. Gol, tapi paku, gergaji, dan ancaman meninggalkan kami, tetap menusuk gawang telinganya dari sang istri yang dijajah kenangan direndahkan di ruang istrirahat pemain. Ayahku tidak memburu cantik permainan. Dia membangun banyak gol, teruntuk kami yang membuat banyak bola di pinggir lapangan. Semua bola kami ditendangnya, juga ditulisnya: Tuhan, ampuni semua dosa anak-anakku. Tunjukkan surga padanya.<br /><br />2010T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-71188353563618775712009-05-11T06:03:00.001-07:002009-05-11T06:04:04.608-07:00Komposisi Dua Susi<span style="font-weight:bold;">Sajak T.WIJAYA</span><br /><br />I.<br />SUSU yang tumpah di bibir bulan mungkin susi yang menepiskan langit<br />yang tumbuh dalam gejolak kota tanpa angin malam ini. Roti yang digigit anak di kereta ini<br />mungkin Susi yang lapar mencoret pepohonan roboh di taman rumah Tuhan. Meja makan yang terbelah di ruang tamu<br />mungkin Susi yang tak mampu menoleh mencari wajah sudut lembab kotanya.<br /><br />II.<br />KESUNYIAN mereka di kereta ini menyeret Susi, menembus peradaban orang-orang di ruang tanpa angin.<br />Mereka berharap buang tumbuh dalam tidur yang terus dijaga presiden penuh kecemasan. Mereka kemudian membakar tiket. Susi teriak, kami lupa cara melahirkan anak-anak di sekolah penuh doa doa kami: jangan rampas tanah kami. Susi, Susi, kira-kira kesunyian berapa jauh dari kereta ini<br /><br />III.<br />BATU terdiam menatap tulang seseorang bermohon agar batu itu mencair dan melapisi jalan di telapak kaki Susi.<br />Susi tetap tak tidur menjaga malam agar hujan tidak berupa batu, meskipun tahu sepanjang sungai Musi<br />57 ibu menggoreng batu sambil melahirkan tanpa menelan vitamin. Seseorang menidurkan Susi. Dalam mimpinya Susi menjaga batu yang dikirim Tuhan<br />lalu 57 ribu ibu menjadi batu menambal jalan orang-orang yang kehilangan Susi.<br /><br />2009T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-62589537066236713762009-05-11T00:59:00.000-07:002009-05-11T01:00:51.575-07:00Lupakan Indonesia<span style="font-weight:bold;">Sajak T.WIJAYA<br /></span><br />DI dalam angin kamarmu, selain kedinginan juga kesadaran yang meloncat-loncat terhadap Indonesia yang dirumuskan para guru. Kita mau ke mana setelah meninggalkan ruang belajar ini? Tanyaku. Kau berdiri. Menciumku. Memelukku. Akhirnya bercinta dengan mengeluarkan keringat penuh aroma, seperti kali pertama kita bertemu di facebook itu. Tapi menjelang di puncak, kau melompat seperti terjebak di kandang kambing. <br />Sekarang Indonesia sudah bubar. Mengapa kita harus membangun kembali Indonesia? Mengapa kita harus sibuk membicarakan sejarah Tan Malaka, Bung Karno dan Bung Hatta? Kenapa? Sadarlah. Peluk saja tubuhku berabad-abad, lupakan Indonesia.<br />Perempuan yang bernama Susi itu berlari meninggalkan ruang belajar. Dia menembus segala rawa, perkampungan miskin, bukit terkikis, lorong-lorong yang busuk, hutan yang pitak, sambil mengibarkan bendera merah-putih. Tak ada yang mencegahnya, dan tidak ada juga yang bertepuk tangan. Ada beberapa orang yang memperhatikan tubuh Susi. Tak ada yang luar biasa buat mereka. Sekumpulan tulang yang dibungkus daging.<br />Tak ada Indonesia. Sungguh tidak ada Indonesia dari tubuh Susi. Mengapa kita harus memperhatikan tubuhnya? Kata mereka. Mereka yang penuh kata. Mereka yang terus mengamalkan ajaran Indonesia.<br /><br />ANGIN pergi dari kamarmu. Panas. Pengap. Seseorang yang disebut Asep berzikir bersama kipas anginnya. Usianya 65 tahun. Tangannya tidak membengkak. Bahkan dari tangannya keluar cairan coklat yang membuat mereka yang belum pernah melacak Indonesia terangsang. Memetakan surga. Menutupi pori-pori tubuh Susi. Susi tidak dapat berlari. Dia dibungkus berlapis-lapis kain. Putih. Hijau. Merah. Kuning. Putih. Hitam. Merah. Biru. Putih. Hijau. Biru. Kuning. Hitam. Coklat. Putih.<br />Inikah Indonesia? Tidak. Mengapa? Tanyaku. Ya, tak ada tempat buat mereka yang berdosa, yang melulu memuja angin menari di kamar. <br />Susi harus dihukum? Tidak. Mengapa? Tanya Asep. Dia pernah membusuki Indonesia, sehingga kita menjual Indonesia.<br />Asep mengusap kepalaku. Katanya, Indonesia tidak dijual. Kita belum pernah membangun Indonesia. Yang terjadi, proposal Indonesia yang kita bakar bersama miliaran barrel minyak bumi, dan jutaan hutan yang membara.<br />Kini aku yang berlari. Berlari. Menembus bagian terdalam dan terlembek dari sumsum tulang kepalaku. Oi, ternyata Indonesia hanya semacam mimpi dari kebangsaanku, yang kanyut 23 abad lalu dari tanah Tiongkok.<br /><br />MAAFKAN aku, Susi. Maafkan. Tapi, maukah melanjutkan persetubuhan itu? Aku sudah terlalu mabuk dengan aroma tubuhmu. Lihatlah, wajahku penuh gunung yang dilapisi debu kota. Bebaskan Indonesia dari pikiranmu. Biarkan Indonesia dibangun Asep. Kipas anginnya pasti menyejukan kita setelah persetubuhan ini. Mesin kapalku menyala. Besi-besi kapalku membara. Kusentuh Susi. Susi terbakar. Susi melepuh. Aku menyetubuhi inti api. Begitu banyak Indonesia di dalam kehangusannya. Dan, seperti dugaan orang miskin, tak ada Asep bersama kipasnya.<br /> <br />Maafkan aku, Susi. Coba maafkan. Anak-anak kami yang baru direncanakan, terjebak dalam sejarah Indonesia. Lupakan Indonesia. Mungkin.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2009</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-44492844427259594772009-05-03T13:46:00.000-07:002009-05-03T13:48:20.265-07:00Sayang, Mari Belanja ke Pasar 16 Ilir<span style="font-weight:bold;">Sajak T. WIJAYA</span><br /><br />Harga diri kita masih ada. Mari belanja ke Pasar 16 Ilir. Beli ½ kilogram ikan gabus, bungkus dengan t-shirt seharga Rp8.500, tak ada yang protes, kecuali teman-teman yang tersesat di mall. Mereka mengintip kita dari perut berlipat yang terlihat puluhan pegawai negeri yang cemas akan istrinya. Bagai ikan salmon yang dilumuri coklat mencair, tak enak dibuat pempek.<br />Sayang. Bertahanlah di Pasar 16 Ilir hingga perahu ketek mengejar senja. Pasar 16 Ilir bukan hanya milik Belanda di balik awan masa lalu. Banyak dusun yang dilukis di kaki limanya. Perguruan tinggi yang menyusui sejarahnya. Perawan-perawan yang akhirnya bunting mengejar aromanya. Mereka bergulingan di antara tumpukan pakaian, tikus berlomba di jalan becek, dan para copet yang berbau ikan laut dan bawang merah, patah jari telunjuknya terinjak sepatu lars polisi.<br />Tak ada yang menakutkan dari Pasar 16 Ilir, kecuali jalan sempit dan parit-parit yang dibiarkan mampet, sebab pedagangnya melulu dicoret dalam persidangan anggota dewan.<br />Harga diri kita masih ada. Mari belanja ke pasar 16 Ilir. Beli terasi udang dari Sungsang, lalu oleskan pada tubuhmu yang berkulit kuning, biarkan teman-temanmu di mall tertawa hingga terkencing di celana dalamnya yang robek. Tak ada yang berharga dari hidungku, kecuali setiap pagi aku membersihkan WC sehabis digunakan teman-temanmu yang sama; orang-orang miskin mencari suami di kota.<br />Sayang. Mumpung harga diri kita masih ada. Mari belanja ke Pasar 16 Ilir. Belilah beras, kecap, garam, kangkung, bayam, dengan gaji buruhku. Kita makan tanpa AC dan musik klasik seperti di kampung dulu. Dan dulu, mall itu adalah kampung kita. Rumah kita. Taman bermain kita. Kebun kita. Harga diri kita.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2009</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-70646173352891922352009-04-02T13:55:00.000-07:002009-04-02T13:56:24.623-07:00Sajak Kecemasan<span style="font-weight:bold;">Sajak T.WIJAYA</span><br /><br />Saat anak-anak aku ingin menjadi seekor burung merpati. Sekarang, katanya, aku mendapatkannya. Tapi aku tidak bahagia. Aku hanya seekor burung pengeluh.Tidak terima gedung kesenian menjadi sarang orang-orang tak mengenal dirinya, dan teman-teman yang berani, kini tidur dan makan di sarang musuh yang merampas kasih Tuhan.<br />Aku dapat bahagia dalam kesepian, tapi menunggu mereka menghabiskan kepuasan dari penyiksaan kemiskinan membuatku muak, dan berulang kali memuntahkan ludah ke dalam perut.<br />Siapa aku tanpa anak-anak? Aku tak berani berjanji dengan anak-anakku untuk terus menjadi burung merpati. Aku mungkin harus selalu percaya tiba-tiba tua dan mati.<br /><span style="font-style:italic;"><br />2009</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-35698068920901663512009-03-16T13:56:00.001-07:002009-03-16T13:57:35.254-07:00Indonesia<span style="font-weight:bold;">Sajak T.WIJAYA</span><br /><br />Aku harus percaya dan mempertahankan keluarga yang dikocok dalam sebungkus mi instan, setelah aku berkelahi dengan semua lelaki di beberapa kantor yang memberi gaji; beberapa bungkus mi instan.<br />Bertahan dengan banyak hal yang kubenci:<br />Ingin terbang, mereka bercerita di luar semuanya haram. Ingin terbang, tapi penjaga tanah suci selalu menghina.<br />Aku harus percaya dengan keindahan, kekayaan, dan sejarah yang membuat keluarga direbus dalam sebuah panci. Tubuh penuh harga dan bekas lidah para tentara yang berbisnis, dan berkata inilah harga diri.<br />Ingin terbang, mereka bercerita di luar semuanya penjajah.<br />Apa yang kudapatkan selama 24 jam di negeri yang tidak kumengerti? Koran yang lucu dan fatwa-fatwa yang menakutkan, mencium kesadaran melupakan bendera.<br />Pagi ini, aku tidak berani bunuh diri. Bahasaku satu, yang gagap mengungkapkan sebuah bangsa yang harus kupercaya.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2009</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-80140048912589989932009-03-06T15:07:00.000-08:002009-03-06T15:08:33.640-08:00Bebaskan!<span style="font-weight:bold;">Sajak T.WIJAYA<br /></span><br />Tubuh-tubuhku miskin. Selalu dihitung, dan takut mengatakan tentara itu jahat<br />Kami selalu dipukul hingga janin cacat. Hanya mampu berbisik, dan bila menemukan palu. Memukul kaki, tangan, kepala, dada. Sampai darah dan pencurian membakar tubuh-tubuhku<br /><br />Tubuh-tubuhku miskin. Mencari Tuhan, dan selalu ditangkap. Dihina bagai pelacur.<br />Meskipun selalu berdoa dan berbagi kebaikan<br /><br />Tubuhku-tubuhku miskin. Ditinggalkan setelah disentuh. Bercinta tanpa sarapan pagi esoknya.<br /><br />Bebaskan! Tapi jangan tinggalkan Indonesia.<br />Masuki tubuh-tubuhku miskin. Temukan Tuhan bicara dari darah-darah penuh candu kelaparan<br /><br />Bebaskan! Tapi jangan tinggalkan Indonesia.<br />Menari dengan musik dunia, yang melintasi laut, gurun, kutub, dan hutan-hutan tersisa.<br /><br />Tubuh-tubuhku miskin. Selalu diremehkan, dan berani mengatakan mencuri itu melegakan.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2009</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-74389947043516493802009-02-28T15:40:00.001-08:002009-02-28T15:41:00.474-08:00Nelayan Gagal Menangkap Presiden<span style="font-weight:bold;">Sajak T.Wijaya</span><br /><br />Nelayan selalu gagal menangkap presiden di sungai Musi.<br />Mereka kelaparan tiap sore hari. Hampir satu abad ikan-ikan disantap presiden. Tapi mereka selalu memilih presiden.<br />Mereka tidak membenci Belanda yang mengajari adanya presiden. Mereka ingin menjadi Belanda yang berenang di sungai Musi. Mereka ingin beristrikan Belanda, yang menari di tepi sungai Musi.<br />Nelayan selalu kalah menangkap presiden si sungai Musi.<br />Jala mereka hanya menangkap udang, kecil-kecil.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2009</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-25131728849023656362009-02-15T07:12:00.000-08:002009-02-15T07:25:12.526-08:00Pemilu Indonesia 2009<span style="font-weight:bold;">Sajak T.WIJAYA</span><br /><br />Pemilu Indonesia 2009, orang-orang kian asing. Memilih bukan pilihan. Melulu orang asing menulis surat kepada partai politik. Isinya tentang kami menjadi pengemis. Berbaris sakit di sepanjang gang dan anak sungai: Beras lima kilogram atau uang buat membangun masjid. <br /><br />Pemilu Indonesia 2009, kami terkagum dengan Obama. Dia seperti nabi yang lahir dari meja redaksi media massa. Menidurkan beberapa menit pemain sepakbola di televisi.<br /><br />Tetapi, petani yang menyerupai ikan-ikan rawa masih berharap seperti burung. Bebas menyemaikan padi hingga rumah menjadi batu pualam. Mengusir orang asing yang memberi gaji pada partai politik.<br /><br />Mungkinkah mempertahankan harapan dengan membuang lima kilogram beras? Soekarno dan Soeharto sesungguhnya luka yang memberi candu.<br /><br />Tetapi, buruh yang menyerupai lipas-lipas tanah masih berharap menjadi buruh. Bebas membungkus makanan instan dalam jam-jam kebahagiaan, kemudian membunuh orang asing menikahi pemilik pabrik.<br /><br />Mungkinkah mempertahankan harapan dengan membuang uang buat membangun masjid? Obama semacam candu abad pertengahan di nusantara.<br /><br />Pemilu Indonesia 2009, televisi panik, koran panik, jalanan panik. Tetangga, saudara, teman, ayah dan ibu, kian menjadi asing. Maka kupilih keasingan yang ditakutkan Obama.<br /><br />2009<br /><br /><span style="font-style:italic;">2009</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-50478171965845790392009-02-15T07:10:00.001-08:002009-02-15T07:10:49.231-08:00Yang Lapar Berulang-ulang<span style="font-weight:bold;">Sajak T. WIJAYA</span><br /><br />Aku lapar berulang-ulang di rumah makan. Tidak seperti yang kau bayangkan. Dia selalu datang. Menatapku, tapi tidak mencintaiku. Dia memberi hari esok, yang kubenci, seperti aroma dapur rumah ibu. Orang-orang menatap kami meskipun matanya harus menyeberangi sungai dipenuhi amoniak. Lalu orang-orang mati, menghantam dinding rumah makan. Sesungguhnya mereka mati berulang-ulang.<br />Aku lapar berulang-ulang. Merobek, menghisap, memakan, dan tidak pernah memuntahkan janin-janinku. Dia setia datang. Menciumku, tapi tidak mencintaiku. Leherku penuh kunyahan ikan yang tidak halus. Mulutnya membuatku tidak pernah berhenti mengunjungi rumah makan. Lalu perahu tongkang merampasku, membanting tubuhku bersama ikan-ikan dari laut sampai pagi merobek lambungku, yang lapar berulang-ulang.<br /><span style="font-style:italic;"><br />2009</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-74157196478896152682009-01-18T02:34:00.000-08:002009-01-18T02:35:17.731-08:00Sajak Aku Selalu Berlari Bersama Mimpiku<span style="font-weight:bold;">Sajak T.Wijaya</span><br /><br />Aku lelaki yang mencintai perempuan. Tidur dan minta disuapi nasi dari tangan perempuan. Hanya setiap bangun tidur, aku diam-diam membuat benteng. Mimpiku melulu mencintai banyak perempuan. Di ranjang, aku paling akhir yang tidur.<br />Perempuanku mulai tua dan penuh kecemasan. Dia selalu memeriksa sepatuku. Meskipun aku mengatakan tubuhmu tidak terlalu gemuk. Perempuanku mulai tua dan penuh kemarahan. Dia selalu merobek pakaiannya. Meskipun aku mengatakannya, warnanya tidak begitu kusam.<br />Aku lelaki yang lahir dari rahim perempuan. Berlari dan minta diperhatikan perempuan. Setiap mampir di warung kopi, aku membangun banyak keluarga. Mimpiku melulu punya selusin anak. Di semester akhir sekolah anak-anakku, aku paling takut pergi ke sekolah.<br />Aku bersembunyi dalam pertemuan-pertemuan sesama lelaki. <br />Aku lelaki yang mencintai perempuan. Aku selalu berlari bersama mimpiku. Aku lelaki yang lahir dari rahim perempuan.. Aku selalu berlari bersama mimpiku.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2008</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-12461176416428987132009-01-09T15:16:00.000-08:002009-01-09T15:17:39.574-08:00Anak-Anak Dipaksa Lahir Sebagai Kemarahan<span style="font-weight:bold;">Oleh T. WIJAYA</span><br /><br />Saat dilahirkan, 200 juta anak-anak marah terhadap sejarah. Lahir dari rahim dan vagina yang dipaksa. Bayang-bayang melayang dalam imajinasi kemenangan.<br />Di taman kota yang terbakar, mereka pandai menghitung senjata. Seperti hidup harus merusak bunga, dan menggergaji dada.<br />Mereka tidak dapat pulang. Selalu pergi menyapa kota dengan kemarahan. Dor! Dor! Peluru dari senjata anak-anak melintasi meja diskusi kita. Kita penuh kecemasan, tapi selalu memaksa mereka lahir sebagai kemarahan.<br />Menjelang dewasa, tanpa dididik mereka membakar taman kota. Gesit membangun parit buat mengalirkan darah musuh-musuhnya. Menjelang dewasa, tanpa dididik mereka melilitkan bom di tubuhnya. Mati sebagai berita yang menghentikan lintasan iklan, meskipun hanya dua menit. Menandai sejarah dalam orasi para orangtua mengenai keyakinan. Keyakinan tidak semua manusia masuk surga. Entahlah. Kuharap anak-anakku tetap menangis hingga dewasa.<br /><span style="font-style:italic;"><br />2008 </span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-62499327042257805022008-12-29T18:38:00.000-08:002008-12-29T18:39:33.142-08:00Tahun Baru, Piring dan Cangkir Terus Kotor<span style="font-weight:bold;">Sajak. T.WIJAYA</span><br /><br />Tahun baru, kita tidak dapat berhenti mencuci piring dan cangkir. Setiap hari, piring dan cangkir selalu kotor. Mulut-mulut kita tidak takut kiamat. Mulut-mulut kita tidak mau didahului kematian. Mulut-mulut kita membangun perang.<br />Tahun baru, kita tidak dapat berhenti mencuci piring dan cangkir. Buruh-buruh yang membuat sabun, selalu bergaji murah. Mereka percaya tahun baru sesuatu yang percuma. Seperti istriku yang selalu marah, cemas pada kalender mengurangi daya tahan kulit terhadap matahari. Harapan semacam keyakinan di atas bukit tak ada piring dan cangkir yang kotor. <br />Tahun baru, warung-warung terus menyediakan sabun. Piring dan cangkir selalu kotor.<br />Tahun baru, adakah negara yang dapat menghentikan mulut-mulut melahap daging dan ikan yang menjijikkan?<br /><br /><span style="font-style:italic;">2008<br /></span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-31772101225938237472008-12-25T16:41:00.000-08:002008-12-25T16:44:56.707-08:00Ibu, Benteng Ini Tidak Menghadap Laut<span style="font-weight:bold;">Sajak T.Wijaya</span><br /><br />Benteng ini tidak menghadap laut. Lubang senjatanya menghadap teras rumah panggung orang uluan. Perempuan setelah 6 abad, yang menatapnya, mengeluh sepanjang hari. Mereka membayangkan sultan membagikan beras dan minyak sayur. Lalu meraba bulu dadanya.<br /><br />Benteng ini membuat musuh menguasai laut. Dari seribu langgar yang menusuk sungai Musi, mereka menulis silsilah sebagai penguasa laut, yang dilahirkan kembali dari rahim Fatimah. Setelah 6 abad, perempuan yang membacanya, mengeluh sepanjang hari. Bertolak pinggang di tangga rumah: Aku babu yang ditiduri dan tidak diberi gaji!<br /><br />Benteng ini jelas-jelas jauh dari laut. Jelas pula, aku tidak dapat berenang, tapi rindu air terdalam hingga dingin menyentuh pasir berlumpur. Hitam. Berjalan pelan-pelan di bawah perahu yang lapuk dan kakus sepanjang tepian. <br /><br />Aku menemukan kitab-kitab yang ditulis Ratu Sinuhun, dan dibuang para panglima yang calon selirnya menggoda raja.<br /><br />Benteng ini sebenarnya di perut laut. Laut minyak bumi dan batubara, yang membuat perempuan setelah 6 abad, tidak mampu berhenti mengeluh. Mereka bosan menatap tongkang-tongkang yang gagah meninggalkan uluan, buat menemui pangkuan laut. Benteng ini hanya tentara. Di gerbangnya, perempuan setelah 6 abad menjerit saat beranak: Aku bukan Cat Woman!<br /><br /><span style="font-style:italic;">2008</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-38533792431602743922008-12-25T16:38:00.000-08:002008-12-25T16:41:18.753-08:00Natal, Isa Kehilangan Sepatu<span style="font-weight:bold;">Oleh T. WIJAYA</span><br /><br />Natal datang seperti yang lainnya. Semua memuja. Di bawah kelembaban kolong rumah panggung dan rasa lapar yang penakut, Isa telah kehilangan sepatu. Kakinya berdarah menemui janda itu. Isa menyusup dari jendela, yang tabirnya dipenuhi dahak berdarah janda itu.<br />Isa, aku tetap cinta padamu, biarlah sepatu itu membakar mereka berabad-abad yang sakit, bisiknya. Sesak lepas sekian detik.<br />Natal menari seperti yang lainnya. Mereka menari, meskipun tiang jembatan Ampera menusuk bulan. Bulan menyusul, dia berdarah seperti Isa dan janda itu.<br />Isa terus menemui janda itu. Kakinya terus berdarah. Jutaan kilometer dia berjalan. Menembus padang pasir yang tumbuh di dada para pencuri sepatu.<br />Tuhan, mengapa tidak Kau gergaji tanganku?<br />Isa terus berjalan. Dia menemui janda itu. Kakinya terus berdarah. Di puncak Dempo, dia menguburkan jasad janda itu. Tak ada hujan semanis itu. Burung-burung bernyanyi.<br />Tuhan, mengapa Kau biarkan kami hidup abadi?<br />Isa terus berjalan. Muhammad menangis. Kami menangis. Semua menangis. Darah terus mengucur dari telapak kakinya, hingga ke jari-jari para malaikat. Mereka pun menangis. Tuhan, mengapa kami harus mengenakan sepatu?<br /><br /><span style="font-style:italic;">2008 </span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-88265710856568765822008-12-16T15:50:00.000-08:002008-12-16T15:51:33.917-08:00Kau Mengkhayalkan Seseorang di Surga<span style="font-weight:bold;">Sajak T. Wijaya</span><br /><br />Jika kau mengkhayalkan seseorang, satu hari dalam hidupnya kau akan dipeluknya. Bila seseorang banyak dikhayalkan pemujanya, jangan diharap dia hanya memelukmu. Layaknya Tuhan, dia menciptakan badai lalu melupakannya dengan ciuman sampai betisnya basah.<br />Jadi memilihlah dalam mengkhayalkan seseorang, agar kau tidak sesat atau dimakan para pemujanya. <br />Penyair yang gagal, kataku, terlalu banyak mengharapkan pelukan. Akhirnya, duduk menghirup kopi, menghisap rokok, sakit paru-paru, ikut antri menerima bantuan makan dari pemerintah.<br />Kuharap, kau mengkhayalkan seseorang di surga. Namun kekasih yang gagal, mengibaratkan dirinya bidadari atau pangeran, yang dikhayalkan banyak penyair.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2008</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-68562535337539948562008-12-14T21:24:00.000-08:002008-12-14T21:25:39.077-08:00Sisa Revolusi<span style="font-weight:bold;">Sajak T. WIJAYA</span><br /><br />Sangkar di teras rumah ini kehilangan burung. Di hadapan bunga-bunga dia menjadi kotor, bau dan kaku. Sepatu-sepatu yang pernah dikenakannya kian takut menatap jalan. Tua dan tidak lagi bekerja di pabrik-pabrik.<br />Dulu, sepasang burung dan beberapa anaknya membangun sangkar ini. Musim hujan dan panas yang melapukkan kepercayaan diri, mereka sapa dengan kepala menatap langit.<br />Apa yang terjadi?<br />Bunga, sepatu, sandal, tidak lagi bekerja di pabrik-pabrik. Mereka seperti Tan Malaka yang mati di luar sangkar ini.<br />Burung-burung dunia membenci sangkar ini. Katanya, biarlah mati digulung badai.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2008</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-4156602770335207522008-12-11T03:31:00.000-08:002008-12-11T03:32:07.745-08:00Ratna, Kau Boleh Menertawakan Aku<span style="font-weight:bold;">Sajak T.WIJAYA</span><br /><br />Ratna, kau boleh selalu pergi, tapi selimut tak pernah terbang dari ranjang ini. Sesekali bayangan anak-anak membacakan puisiku, di bibir ranjang. Puisi tentang cinta yang membara sepulang dan menuju sekolah. Ada juga kata-kata kemarahan pada ilmu pengetahuan yang membuat kita bermusuhan, meskipun guru tak mampu menjelaskan Tuhan kian banyak.<br />Ratna, kau boleh menertawakan aku, tapi aku selalu terjaga. Menanti kesadaran sesungguhnya. Tidak pura-pura bersama kekasih yang datang buru-buru, lalu menyediakan kopi saat pagi hari, atau menyambut teleponnya dari sebuah kampung industri.<br />Ratna, kau boleh selalu terbang, tapi aku selalu mencintai pohon yang kutanam di halaman rumahmu. Buah-buahnya bagai kebun milik petani yang kita bicarakan setiap kali guru memarahiku menulis puisi di kelas itu.<br />Ratna, kau boleh selalu mati, tapi aku selalu membangunkanmu di kamar yang biru. Biru seperti langit yang menjaga Tuhan kita.<br /><br />Ratna, cahaya itu. Tidak seperti yang dibayangkan para sahabat yang ketakutan pada puisi.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2008</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-58006464007959206512008-12-08T10:39:00.001-08:002008-12-08T10:39:56.486-08:00Menangis di Rumah Saja<span style="font-weight:bold;">Sajak T.WIJAYA</span><br />Menangis paling mengigit kesedihan. Yakni anak-anak yang selalu diminta upacara bendera tiap Senin. Menghadap matahari tanpa permen dan coklat. Harapannya mencair dalam keringat ayah dan bunda yang ketakutan.<br /><br />Pulanglah, anakku. Menangis di rumah saja. Tolong bawa koran. Kita menyewa koran buat memberitakan bunuh diri dan perampokan. Pada halaman depan, musim perwakilan tidak pernah menurunkan ongkos angkutan umum.<br /><br />Menangis paling menggigit kemarahan. Yakni anak-anak yang selalu dipaksa mengerti nasib guru. Seperti kambing-kambing yang dikorbankan lebaran ini.<br /><br />Ibrahim! Ibrahim! Jangan menangis anakku. Bukan ayah dan bunda yang tiba-tiba mendapatkan wahyu. Mimpi kami selalu batu. Dilemparkan jauh-jauh ke kolam air mata. Jangan ajak kelahiranmu. Pulanglah. Menangis di rumah saja.<br /><br />Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2008</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-91948956467627330432008-11-19T07:07:00.000-08:002008-11-19T07:08:27.156-08:00Hujan, Bebaskan Aku<span style="font-weight:bold;">Sajak T.WIJAYA</span><br /><br />Hujan. Tahukah, tidak ada yang mampu mengubah warnanya. Dalam kenangan itu, ilmu pengetahuan dikalahkan romantisme segenggam ludah di dada.<br />Hujan. Dia pergi bersama kekasih, yang tiap rindu merampas napasnya. Dia setia duduk di teras umur itu. Cahaya terus membuat bayangannya. Membesar. Hujan.<br />Aku rindu hujan, yang liar membuat sungai di kepala kanak-kanakku. Aku rindu hujan, yang putus-putus menyambungkan gerbong-gerbong kereta api mimpiku: Bertemu Tuhan, protes kenapa padang pasir.<br />Angin hanya gagal menghubungkan kebanggaan pada hujan. Melahirkan telapak tangan pucat beku mengacak-acak tubuh agar hati-hati menyambut hujan di bumi. Dia membuat rumah, pondok, halte, cafe, hingga payung.<br />Hujan, bebaskan aku. Mari menikah sore ini. Hujan bebaskan aku. Pesta. Pesta. Lumpur. Lumpur. Pesta. Lumpur.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2008</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-63781424859936655622008-11-12T03:42:00.000-08:002008-11-12T03:43:28.247-08:00SenjaSajak T.Wijaya<br /><br />Senja Tuhan mengingatkan. Sampah. Sampah yang hidup dalam ingatan. Tidak akan bebas dari cinta. Cinta membesar. Tanpa taman. Tanpa keberanian keluar rumah. Tidur sepanjang kerinduan. Mencari mati pada kepasrahan sebuah bantal.<br />Mereka pulang. Berlari dari senja. Sembunyi di kamar mandi. Membersihkan sampah yang melekat di sela-sela ketiak, selangkangan, dan pabrik kecantikan juga yang memvonis.<br />Tanpa taman. Tanpa keberanian meninggalkan kota ini. <br />Senja sehabis hujan Tuhan mengingatkan. Sampah. Sampah yang menumpuk dalam ingatan. Surga kian tipis. Tipis. Sampah. O, senja.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2008</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-71798230233197119122008-11-07T05:45:00.000-08:002008-11-07T05:46:42.380-08:00Nelly dari PagaralamSajak T.WIJAYA<br /><br />Musim kemiskinan belum selesai. Nelly. Nelly. Kupanggil pekerjaan di sini, saudaramu melayu yang kaya. Nelly. Nelly. Kucium keningmu di sini, saudaramu melayu yang rindu. <br /><br />Gajimu kuselipkan di antara anak-anak ayam dibawa perahu tongkang yang kanyut di selat Malaka, berlari dalam gelap dan dingin di hutan Kalimantan.<br /><br />Maafkan, aku harus memerkosamu. Puncak Dempo masih melukai sejarah melayu gelisah. Maafkan, matilah. Semoga lima abad menjadi terbakar. Terbakar.<br /><br />Musim kemiskinan belum selesai. Nelly. Nelly. Tinggalkan Pagaralam di sini, sahabatmu melayu berkerudung. Nelly. Nelly. Berlari menembus awan. Gelap di puncak Dempo. Hujan. Hujan. Mati. Gajimu basah buat para polisi dan komunikasi. Lumpur menyelimuti jasad. Musim kemiskinan dijaga bulan.<br /><br /><span style="font-style:italic;">2008 </span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-28507676409985152882008-10-28T08:33:00.001-07:002008-10-28T08:33:47.840-07:00Aku Menusuk DapurkuT.WIJAYA<br /><br />Aku menusuk dapurku. Mencari batas surga dan neraka di dasar kuali, yang dibeli buat membangun keluarga. Bapak, ibu, anak lelaki dan anak perempuan gosong digoreng. Tidak ada kolam susu di bara api kompor. Keluarga yang tidak terselamatkan. Warna-warna mencemaskan menandai dapurku. <br />Lima meter dari dapurku, berjuta batang rokok menghabisi kesehatan anak-anakku. Mereka bengek menerima pendidikan, yang dijanjikan kebohongan. Selalu dikatakan gurunya, Bumi itu bundar!<br />Pabrik rokok merampas hak pendidikan dan kesehatan anak Indonesia. Sayang, presidenku malu-malu dengan bantuan pabrik rokok, ibarat menjaga sepakbola mengepul dari mulutku.<br />Hari ini seperti Bung Karno yang baru menyelesaikan sekolahnya. Orang-orang di jalan tidak menapak aspal. Tubuh mereka tersangkut di langit-langit dapur yang kian langas. Pikiran mereka selalu dipenuhi hujan. Banjir. Banjir. Banjir hingga pikiran tak mampu berenang meninggalkan bandara. Melulu di stasion kereta api menunggu tiket. Di meja makan, mereka memilih para calo tiket setiap lima tahun. Berharap tiket-tiket segera dikirimkan. Tiket hangus setiap masa kampanye.<br />Jadi, biarkan aku menusuk dapurku. Membacok dapurku. Biar berdarah. Dapurku sudah berdarah, sejak Bung Hatta di Belanda.<br />Secangkir kopi membangunkan kematianku tiap pagi. Dapurku penuh luka tusuk. Biarlah.<br /><br />2008T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7154929942344076970.post-91673825608856986542008-10-19T08:09:00.000-07:002008-10-19T08:12:35.133-07:00Aku Mencuci Pakaian AnakkuT.WIJAYA<br /><br />Tidak ada catatan mimpiku di saku celana mereka. Bungkus permen, uang logam, remahan kue, cairan coklat, melekat. Susah sekali digilas iklan diterjen. Sama-sama membuat kedua telapak tanganku panas, disusupi angin, hingga ke bibir tulang. Aromanya pesing seperti keringat yang keluar dari ketiak para pemain sepakbola, yang mahal ditonton. <br />Suara air menghentak, tidak memperdulikan teriakan ayam dari telepon genggam yang tidak mampu menjaga rahasia keluarga. Di hadapannya, mesin cuci membeku, sebab listrik tidak mampu menciumi penggilingan dan pengeringannya, sejak Indonesia membagikan tabung gas kepada rakyat miskin. <br />Kebudayaan apa ini, bila keluarga membenci kamar mandi? Semua berharap ada yang mencucikan pakaiannya. Tiap sore dan pagi, aku berteriak agar mereka membersihkan tubuh, menggosok gigi, mencuci mulut, mencuci rambut, dan membuang semua kotoran di perut.<br />Dan, sebenarnya aku membenci pesawat terbang yang membawa pembantu rumah tangga. Tidak ada yang mau sekolah sambil memasak dan mencuci. Semua turun ke jalan menuntut hidup gratis!<br />Agama mana yang mampu membuat pakaian era ini terus bersih dan wangi seperti di surga. Hanya iklan menjelaskannya, meskipun aku terus mencuci pakaian anak-anakku.<br />Lalu anak-anakku tidak pernah mencatat mimpiku. Mimpi istriku. Mimpi nabiku. Mungkin, pakaian sekolah mereka yang kotor, dibuat para buruh yang selalu mengeluh.<br />Aku mencuci pakaian anakku. Mencuci. Mencuci. Berharap mereka mencatat mimpiku. Mimpiku, bernyanyi sepanjang waktu: Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala, selalu dipuja-puja bangsa. Di sana, tempat lahir beta. Dibuai, dibesarkan bunda...*)<br /><br />2008<br /><br /><span style="font-style:italic;">*) Lagu INDONESIA PUSAKA</span>T. Wijayahttp://www.blogger.com/profile/06508061719706891695noreply@blogger.com0