Selasa, 28 Oktober 2008

Aku Menusuk Dapurku

T.WIJAYA

Aku menusuk dapurku. Mencari batas surga dan neraka di dasar kuali, yang dibeli buat membangun keluarga. Bapak, ibu, anak lelaki dan anak perempuan gosong digoreng. Tidak ada kolam susu di bara api kompor. Keluarga yang tidak terselamatkan. Warna-warna mencemaskan menandai dapurku.
Lima meter dari dapurku, berjuta batang rokok menghabisi kesehatan anak-anakku. Mereka bengek menerima pendidikan, yang dijanjikan kebohongan. Selalu dikatakan gurunya, Bumi itu bundar!
Pabrik rokok merampas hak pendidikan dan kesehatan anak Indonesia. Sayang, presidenku malu-malu dengan bantuan pabrik rokok, ibarat menjaga sepakbola mengepul dari mulutku.
Hari ini seperti Bung Karno yang baru menyelesaikan sekolahnya. Orang-orang di jalan tidak menapak aspal. Tubuh mereka tersangkut di langit-langit dapur yang kian langas. Pikiran mereka selalu dipenuhi hujan. Banjir. Banjir. Banjir hingga pikiran tak mampu berenang meninggalkan bandara. Melulu di stasion kereta api menunggu tiket. Di meja makan, mereka memilih para calo tiket setiap lima tahun. Berharap tiket-tiket segera dikirimkan. Tiket hangus setiap masa kampanye.
Jadi, biarkan aku menusuk dapurku. Membacok dapurku. Biar berdarah. Dapurku sudah berdarah, sejak Bung Hatta di Belanda.
Secangkir kopi membangunkan kematianku tiap pagi. Dapurku penuh luka tusuk. Biarlah.

2008

Minggu, 19 Oktober 2008

Aku Mencuci Pakaian Anakku

T.WIJAYA

Tidak ada catatan mimpiku di saku celana mereka. Bungkus permen, uang logam, remahan kue, cairan coklat, melekat. Susah sekali digilas iklan diterjen. Sama-sama membuat kedua telapak tanganku panas, disusupi angin, hingga ke bibir tulang. Aromanya pesing seperti keringat yang keluar dari ketiak para pemain sepakbola, yang mahal ditonton.
Suara air menghentak, tidak memperdulikan teriakan ayam dari telepon genggam yang tidak mampu menjaga rahasia keluarga. Di hadapannya, mesin cuci membeku, sebab listrik tidak mampu menciumi penggilingan dan pengeringannya, sejak Indonesia membagikan tabung gas kepada rakyat miskin.
Kebudayaan apa ini, bila keluarga membenci kamar mandi? Semua berharap ada yang mencucikan pakaiannya. Tiap sore dan pagi, aku berteriak agar mereka membersihkan tubuh, menggosok gigi, mencuci mulut, mencuci rambut, dan membuang semua kotoran di perut.
Dan, sebenarnya aku membenci pesawat terbang yang membawa pembantu rumah tangga. Tidak ada yang mau sekolah sambil memasak dan mencuci. Semua turun ke jalan menuntut hidup gratis!
Agama mana yang mampu membuat pakaian era ini terus bersih dan wangi seperti di surga. Hanya iklan menjelaskannya, meskipun aku terus mencuci pakaian anak-anakku.
Lalu anak-anakku tidak pernah mencatat mimpiku. Mimpi istriku. Mimpi nabiku. Mungkin, pakaian sekolah mereka yang kotor, dibuat para buruh yang selalu mengeluh.
Aku mencuci pakaian anakku. Mencuci. Mencuci. Berharap mereka mencatat mimpiku. Mimpiku, bernyanyi sepanjang waktu: Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala, selalu dipuja-puja bangsa. Di sana, tempat lahir beta. Dibuai, dibesarkan bunda...*)

2008

*) Lagu INDONESIA PUSAKA

Jumat, 17 Oktober 2008

T.WIJAYA

Aku membuka bungkus permen, saat mereka menceritakan ilmu pengetahuan yang mahal. Asap rokok itu menghisapku. Seperti perempuan-perempuan nakal yang
memberiku susu dan nasi bungkus.
Permen kutelan. Dingin. Mataku berbeda dengan mata mereka. Bau mulutku pun dibenci ketiak mereka. Kami tidak sama di tepi Sungai Musi ini. Dan, aku tidak tahu bagaimana limbah amoniak itu merusak otakku yang selalu gagal menghitung tangga di meja belajar.
Permen habis kuhisap. Mereka terus menceritakan ilmu pengetahuan yang mahal.
Setiap gerak mulut mereka, abahku batu berdahak. Kental dan bernanah. Hanyut ke hilir dimakan seluang-seluang yang tidak pernah sekolah. Siapa presiden malam ini.
Sebaiknya, mungkin, kukumpulkan bungkus permen sekota ini. Kumasukan ke mulut mereka. Membusuk. Dan aku pergi bersama mobil mereka. Tabrak Ayam, tabrak batu, tabrak babi, tabrak angin, tabrak toko pakaian yang selalu diceritakan istriku.
Sapi. Sapi jiwaku yang ingin berenang mengejar pakaian dan buku sekolah anakku.
Air mata dari panci, kasur kapuk, perahu, dan tiang-tiang kayu gelam mengasinkan Sungai Musi.
Mulut mereka tidak suka. Mereka menyulingnya dengan mesin dari Jerman. Aku tidak benci Michel Ballack! Tapi mengapa ilmu pengetahuan itu mahal, meskipun di Sekolah Dasar panggung dengan seorang guru honor yang berdoa agar dilamar perwira TNI.
Aku kembali membuka bungkus permen. Mereka terus bercerita. Mulut mereka membesar. Membesar. Pintu menuju neraka.

2004

T.WIJAYA

Presiden, kucing itu beranak di dalam kaos kakiku. 56 tahun membusuk. Bagai matematika dan keluguan yang bertanduk pisau. Presiden. Please, aku kencing ke dalam lambung. Duduk saja manis, katanya. Duduk jangan angkat kaki, dan berludah ke lantai. Jangan pula melihat ke langit-langit. Ini bukan rumahmu! Teriaknya.
Ya, aku memang bukan presiden. Kita cuma menyampaikan kalimat dan kalkulator tanpa bentuk. Persis sungai yang dilipat-lipat dalam proposalmu. Presiden, ada orang-orang membaca kitab suci untukmu. Maukah kau menjamin surga bagi mereka? Aku nih takut neraka. Seandainya indah, kenapa kau pajangkan kepala-kepala itu lepas dari badan. Di mana? Di mana? Rumah tempat melepaskan hajat kebencian. Botol-botol sudah meledak di kaki-kaki VOC.
Tinggal tangan di bawah; beras murah dan senyuman Elizabeth dari internet. Persis lukisan Picasso yang terbakar di tangan penyapu jalanan. Oke, presiden, aku tidak suka dengan matematikamu yang lebih indah dari metafor-metafor penyair yang menderita asma di kotaku.
Lihatlah! Itu batuknya mengeluarkan berbaskom-baskom dahak kental. Miliaran kuman bergerak-gerak dan membangun kerajaan yang dinamakan "Dendam Seiris Donat". Ya, kau tahukan. Tahu. Aku benci dengan matematikamu. Matematikamu tidak secantik Yanti di salon yang dipenuhi lidah-lidah kucing. Matematikamu tidak seindah kebusukan para abang beca yang bertahun-tahun cuma tahu, tarik nafas dan menunggu nafasnya ditarik.
Begitu presiden. Umurmu berapa, sekarang? Aku masih gadis dan pernah dua kali menjadi perawan. Sejak Maryam tidak menulis berita kepada Tuhan, sejak kau bingung membedakan mana alkitab dan buku telepon.
Presiden, telepon aku sekarang. Aku berada di jalan. Dipenuhi tai aspal, dan setumpuk sabun-sabun yang mencair dari taman yang tak pernah ditumbuhi kembang, kecuali mereka: gay dan lesbian yang menunggu revolusi.
Presiden, kucing itu kembali beranak di dalam kaos kakiku. Mari kita masuk ke dalamnya. Ada sejuta anak-anak siap menjadi tentara dan pelayan toko. Mari kita rebus dan jemur. Asin dan gurih di lidah. Presiden, kalkulatormu kehilangan angka nol. Pergi! Cari di belakang meja tidurmu. Oi, ada bule yang mengulum kepalamu. Geli hingga muncrat sperma kekuasaanmu. Maaf, aku takut.

2001-2008

Kamis, 16 Oktober 2008

Cemas



T.WIJAYA
Cemas
Aku Cemas Tergulung Cinta
Jejak luka dalam dada terakhir
Membakar, kulit menggeliat menyentuhmu.
Waktu itu seperti semalam
Bagai celah-celah yang menantikan cahaya.
Aku cemas tergulung cinta
Menangis bukan lelaki kecuali
Kasih

2007

Aku Dimarahi Istri


T.WIJAYA
Aku Dimarahi Istri

Seusai lebaran, aku dimarahi istri. Bon-bon bergumpal dalam gelok kering. Dia membakar dada. Dia mencuci krisis dunia di kamar mandi. Televisi membocorkan keketakutan orang kaya pada pendidikannya. Mereka anak manja yang takut anak-anak Asia di lingkungannya dewasa, tidak takut dengan petir dan hujan, apalagi hantu di tepi sungai.
Istriku membongkar vaginanya. Lihatlah! Tidak ada yang dirahasiakan Tuhan pada semut dan lidahmu, kecuali kau memimpikan harga pemain sepakbola di Inggris setiap dini hari. Temui pagi, rampok agen-agen mereka di Asia.
Istriku pembaca koran yang setia. Lugu dan pemarah. Dia percaya kamar mandi Asia menjadi penjaggalan anak-anak, ruang bunuh diri, serta lokasi film kera-kera yang lucu.
Seusai lebaran, aku dimarahi istri. Aku putuskan mengikuti sejarah penjajahan, buat menguatkan antri menerima dana bantuan pemerintah, dan bangga anak-anak kami diberi biaya pendidikan gratis.
Malam seusai dimarahi istriku, vagina-vagina yang tersimpan dalam sinetron itu tidak lagi mengharukan, kecuali lorong pelarian menemukan Tuhan menenangkan abah nusantara yang mengiris hatinya kecil-kecil, sebab demokrasi begitu mahal.
Aku tak punya jenis kelamin di Indonesia. Bodoh.
Seusai lebaran, istriku meradang di kamar mandi.

2008

Selasa, 14 Oktober 2008

Persetubuhan yang Gagal



T.WIJAYA
Persetubuhan yang Gagal

Tua dan berpisah. Perutmu kian besar, berlipat. Dadamu berbau. Buat apa mempertahankan cinta? Pegang saja sisi jembatan itu. Tuhan kian bulat. Kita menang buat berpisah. Meskipun perjalanan melulu diganggu pagi jelang upacara bendera itu.
Persetubuhan yang gagal itu, sering juga menggangguku.
Dadamu yang keras. Perutmu yang menggeliat. Pahamu yang mengencang. Kepalamu yang melipat ke belakang sering membangunkan kemarahan di jalan. Protes. Menombak mereka yang berbeda dengan catatan bukuku. Sampai juga harga beras ditulis di koran sepanjang dinding rumah.
Siapa yang berhak mengulang ketakutanmu atas nafsuku? Hanya tua dan berpisah. Waktu kian sempit mencatat ludahku yang kanyut ke sela-sela sungai di nusantara. Berilah sempat, dan cukup berkata; lelaki boleh mengambil waktu, melupakan persetubuhan yang gagal. Gagal yang menyisakan keringat di sela-sela paruku, hingga kini.

Video MUSI MENGALIR

Slide Keluarga