Senin, 11 Mei 2009

Komposisi Dua Susi

Sajak T.WIJAYA

I.
SUSU yang tumpah di bibir bulan mungkin susi yang menepiskan langit
yang tumbuh dalam gejolak kota tanpa angin malam ini. Roti yang digigit anak di kereta ini
mungkin Susi yang lapar mencoret pepohonan roboh di taman rumah Tuhan. Meja makan yang terbelah di ruang tamu
mungkin Susi yang tak mampu menoleh mencari wajah sudut lembab kotanya.

II.
KESUNYIAN mereka di kereta ini menyeret Susi, menembus peradaban orang-orang di ruang tanpa angin.
Mereka berharap buang tumbuh dalam tidur yang terus dijaga presiden penuh kecemasan. Mereka kemudian membakar tiket. Susi teriak, kami lupa cara melahirkan anak-anak di sekolah penuh doa doa kami: jangan rampas tanah kami. Susi, Susi, kira-kira kesunyian berapa jauh dari kereta ini

III.
BATU terdiam menatap tulang seseorang bermohon agar batu itu mencair dan melapisi jalan di telapak kaki Susi.
Susi tetap tak tidur menjaga malam agar hujan tidak berupa batu, meskipun tahu sepanjang sungai Musi
57 ibu menggoreng batu sambil melahirkan tanpa menelan vitamin. Seseorang menidurkan Susi. Dalam mimpinya Susi menjaga batu yang dikirim Tuhan
lalu 57 ribu ibu menjadi batu menambal jalan orang-orang yang kehilangan Susi.

2009

Lupakan Indonesia

Sajak T.WIJAYA

DI dalam angin kamarmu, selain kedinginan juga kesadaran yang meloncat-loncat terhadap Indonesia yang dirumuskan para guru. Kita mau ke mana setelah meninggalkan ruang belajar ini? Tanyaku. Kau berdiri. Menciumku. Memelukku. Akhirnya bercinta dengan mengeluarkan keringat penuh aroma, seperti kali pertama kita bertemu di facebook itu. Tapi menjelang di puncak, kau melompat seperti terjebak di kandang kambing.
Sekarang Indonesia sudah bubar. Mengapa kita harus membangun kembali Indonesia? Mengapa kita harus sibuk membicarakan sejarah Tan Malaka, Bung Karno dan Bung Hatta? Kenapa? Sadarlah. Peluk saja tubuhku berabad-abad, lupakan Indonesia.
Perempuan yang bernama Susi itu berlari meninggalkan ruang belajar. Dia menembus segala rawa, perkampungan miskin, bukit terkikis, lorong-lorong yang busuk, hutan yang pitak, sambil mengibarkan bendera merah-putih. Tak ada yang mencegahnya, dan tidak ada juga yang bertepuk tangan. Ada beberapa orang yang memperhatikan tubuh Susi. Tak ada yang luar biasa buat mereka. Sekumpulan tulang yang dibungkus daging.
Tak ada Indonesia. Sungguh tidak ada Indonesia dari tubuh Susi. Mengapa kita harus memperhatikan tubuhnya? Kata mereka. Mereka yang penuh kata. Mereka yang terus mengamalkan ajaran Indonesia.

ANGIN pergi dari kamarmu. Panas. Pengap. Seseorang yang disebut Asep berzikir bersama kipas anginnya. Usianya 65 tahun. Tangannya tidak membengkak. Bahkan dari tangannya keluar cairan coklat yang membuat mereka yang belum pernah melacak Indonesia terangsang. Memetakan surga. Menutupi pori-pori tubuh Susi. Susi tidak dapat berlari. Dia dibungkus berlapis-lapis kain. Putih. Hijau. Merah. Kuning. Putih. Hitam. Merah. Biru. Putih. Hijau. Biru. Kuning. Hitam. Coklat. Putih.
Inikah Indonesia? Tidak. Mengapa? Tanyaku. Ya, tak ada tempat buat mereka yang berdosa, yang melulu memuja angin menari di kamar.
Susi harus dihukum? Tidak. Mengapa? Tanya Asep. Dia pernah membusuki Indonesia, sehingga kita menjual Indonesia.
Asep mengusap kepalaku. Katanya, Indonesia tidak dijual. Kita belum pernah membangun Indonesia. Yang terjadi, proposal Indonesia yang kita bakar bersama miliaran barrel minyak bumi, dan jutaan hutan yang membara.
Kini aku yang berlari. Berlari. Menembus bagian terdalam dan terlembek dari sumsum tulang kepalaku. Oi, ternyata Indonesia hanya semacam mimpi dari kebangsaanku, yang kanyut 23 abad lalu dari tanah Tiongkok.

MAAFKAN aku, Susi. Maafkan. Tapi, maukah melanjutkan persetubuhan itu? Aku sudah terlalu mabuk dengan aroma tubuhmu. Lihatlah, wajahku penuh gunung yang dilapisi debu kota. Bebaskan Indonesia dari pikiranmu. Biarkan Indonesia dibangun Asep. Kipas anginnya pasti menyejukan kita setelah persetubuhan ini. Mesin kapalku menyala. Besi-besi kapalku membara. Kusentuh Susi. Susi terbakar. Susi melepuh. Aku menyetubuhi inti api. Begitu banyak Indonesia di dalam kehangusannya. Dan, seperti dugaan orang miskin, tak ada Asep bersama kipasnya.

Maafkan aku, Susi. Coba maafkan. Anak-anak kami yang baru direncanakan, terjebak dalam sejarah Indonesia. Lupakan Indonesia. Mungkin.

2009

Minggu, 03 Mei 2009

Sajak T. WIJAYA

Harga diri kita masih ada. Mari belanja ke Pasar 16 Ilir. Beli ½ kilogram ikan gabus, bungkus dengan t-shirt seharga Rp8.500, tak ada yang protes, kecuali teman-teman yang tersesat di mall. Mereka mengintip kita dari perut berlipat yang terlihat puluhan pegawai negeri yang cemas akan istrinya. Bagai ikan salmon yang dilumuri coklat mencair, tak enak dibuat pempek.
Sayang. Bertahanlah di Pasar 16 Ilir hingga perahu ketek mengejar senja. Pasar 16 Ilir bukan hanya milik Belanda di balik awan masa lalu. Banyak dusun yang dilukis di kaki limanya. Perguruan tinggi yang menyusui sejarahnya. Perawan-perawan yang akhirnya bunting mengejar aromanya. Mereka bergulingan di antara tumpukan pakaian, tikus berlomba di jalan becek, dan para copet yang berbau ikan laut dan bawang merah, patah jari telunjuknya terinjak sepatu lars polisi.
Tak ada yang menakutkan dari Pasar 16 Ilir, kecuali jalan sempit dan parit-parit yang dibiarkan mampet, sebab pedagangnya melulu dicoret dalam persidangan anggota dewan.
Harga diri kita masih ada. Mari belanja ke pasar 16 Ilir. Beli terasi udang dari Sungsang, lalu oleskan pada tubuhmu yang berkulit kuning, biarkan teman-temanmu di mall tertawa hingga terkencing di celana dalamnya yang robek. Tak ada yang berharga dari hidungku, kecuali setiap pagi aku membersihkan WC sehabis digunakan teman-temanmu yang sama; orang-orang miskin mencari suami di kota.
Sayang. Mumpung harga diri kita masih ada. Mari belanja ke Pasar 16 Ilir. Belilah beras, kecap, garam, kangkung, bayam, dengan gaji buruhku. Kita makan tanpa AC dan musik klasik seperti di kampung dulu. Dan dulu, mall itu adalah kampung kita. Rumah kita. Taman bermain kita. Kebun kita. Harga diri kita.

2009

Kamis, 02 April 2009

Sajak Kecemasan

Sajak T.WIJAYA

Saat anak-anak aku ingin menjadi seekor burung merpati. Sekarang, katanya, aku mendapatkannya. Tapi aku tidak bahagia. Aku hanya seekor burung pengeluh.Tidak terima gedung kesenian menjadi sarang orang-orang tak mengenal dirinya, dan teman-teman yang berani, kini tidur dan makan di sarang musuh yang merampas kasih Tuhan.
Aku dapat bahagia dalam kesepian, tapi menunggu mereka menghabiskan kepuasan dari penyiksaan kemiskinan membuatku muak, dan berulang kali memuntahkan ludah ke dalam perut.
Siapa aku tanpa anak-anak? Aku tak berani berjanji dengan anak-anakku untuk terus menjadi burung merpati. Aku mungkin harus selalu percaya tiba-tiba tua dan mati.

2009

Senin, 16 Maret 2009

Indonesia

Sajak T.WIJAYA

Aku harus percaya dan mempertahankan keluarga yang dikocok dalam sebungkus mi instan, setelah aku berkelahi dengan semua lelaki di beberapa kantor yang memberi gaji; beberapa bungkus mi instan.
Bertahan dengan banyak hal yang kubenci:
Ingin terbang, mereka bercerita di luar semuanya haram. Ingin terbang, tapi penjaga tanah suci selalu menghina.
Aku harus percaya dengan keindahan, kekayaan, dan sejarah yang membuat keluarga direbus dalam sebuah panci. Tubuh penuh harga dan bekas lidah para tentara yang berbisnis, dan berkata inilah harga diri.
Ingin terbang, mereka bercerita di luar semuanya penjajah.
Apa yang kudapatkan selama 24 jam di negeri yang tidak kumengerti? Koran yang lucu dan fatwa-fatwa yang menakutkan, mencium kesadaran melupakan bendera.
Pagi ini, aku tidak berani bunuh diri. Bahasaku satu, yang gagap mengungkapkan sebuah bangsa yang harus kupercaya.

2009

Jumat, 06 Maret 2009

Bebaskan!

Sajak T.WIJAYA

Tubuh-tubuhku miskin. Selalu dihitung, dan takut mengatakan tentara itu jahat
Kami selalu dipukul hingga janin cacat. Hanya mampu berbisik, dan bila menemukan palu. Memukul kaki, tangan, kepala, dada. Sampai darah dan pencurian membakar tubuh-tubuhku

Tubuh-tubuhku miskin. Mencari Tuhan, dan selalu ditangkap. Dihina bagai pelacur.
Meskipun selalu berdoa dan berbagi kebaikan

Tubuhku-tubuhku miskin. Ditinggalkan setelah disentuh. Bercinta tanpa sarapan pagi esoknya.

Bebaskan! Tapi jangan tinggalkan Indonesia.
Masuki tubuh-tubuhku miskin. Temukan Tuhan bicara dari darah-darah penuh candu kelaparan

Bebaskan! Tapi jangan tinggalkan Indonesia.
Menari dengan musik dunia, yang melintasi laut, gurun, kutub, dan hutan-hutan tersisa.

Tubuh-tubuhku miskin. Selalu diremehkan, dan berani mengatakan mencuri itu melegakan.

2009

Sabtu, 28 Februari 2009

Sajak T.Wijaya

Nelayan selalu gagal menangkap presiden di sungai Musi.
Mereka kelaparan tiap sore hari. Hampir satu abad ikan-ikan disantap presiden. Tapi mereka selalu memilih presiden.
Mereka tidak membenci Belanda yang mengajari adanya presiden. Mereka ingin menjadi Belanda yang berenang di sungai Musi. Mereka ingin beristrikan Belanda, yang menari di tepi sungai Musi.
Nelayan selalu kalah menangkap presiden si sungai Musi.
Jala mereka hanya menangkap udang, kecil-kecil.

2009

Minggu, 15 Februari 2009

Pemilu Indonesia 2009

Sajak T.WIJAYA

Pemilu Indonesia 2009, orang-orang kian asing. Memilih bukan pilihan. Melulu orang asing menulis surat kepada partai politik. Isinya tentang kami menjadi pengemis. Berbaris sakit di sepanjang gang dan anak sungai: Beras lima kilogram atau uang buat membangun masjid.

Pemilu Indonesia 2009, kami terkagum dengan Obama. Dia seperti nabi yang lahir dari meja redaksi media massa. Menidurkan beberapa menit pemain sepakbola di televisi.

Tetapi, petani yang menyerupai ikan-ikan rawa masih berharap seperti burung. Bebas menyemaikan padi hingga rumah menjadi batu pualam. Mengusir orang asing yang memberi gaji pada partai politik.

Mungkinkah mempertahankan harapan dengan membuang lima kilogram beras? Soekarno dan Soeharto sesungguhnya luka yang memberi candu.

Tetapi, buruh yang menyerupai lipas-lipas tanah masih berharap menjadi buruh. Bebas membungkus makanan instan dalam jam-jam kebahagiaan, kemudian membunuh orang asing menikahi pemilik pabrik.

Mungkinkah mempertahankan harapan dengan membuang uang buat membangun masjid? Obama semacam candu abad pertengahan di nusantara.

Pemilu Indonesia 2009, televisi panik, koran panik, jalanan panik. Tetangga, saudara, teman, ayah dan ibu, kian menjadi asing. Maka kupilih keasingan yang ditakutkan Obama.

2009

2009

Yang Lapar Berulang-ulang

Sajak T. WIJAYA

Aku lapar berulang-ulang di rumah makan. Tidak seperti yang kau bayangkan. Dia selalu datang. Menatapku, tapi tidak mencintaiku. Dia memberi hari esok, yang kubenci, seperti aroma dapur rumah ibu. Orang-orang menatap kami meskipun matanya harus menyeberangi sungai dipenuhi amoniak. Lalu orang-orang mati, menghantam dinding rumah makan. Sesungguhnya mereka mati berulang-ulang.
Aku lapar berulang-ulang. Merobek, menghisap, memakan, dan tidak pernah memuntahkan janin-janinku. Dia setia datang. Menciumku, tapi tidak mencintaiku. Leherku penuh kunyahan ikan yang tidak halus. Mulutnya membuatku tidak pernah berhenti mengunjungi rumah makan. Lalu perahu tongkang merampasku, membanting tubuhku bersama ikan-ikan dari laut sampai pagi merobek lambungku, yang lapar berulang-ulang.

2009

Minggu, 18 Januari 2009

Sajak T.Wijaya

Aku lelaki yang mencintai perempuan. Tidur dan minta disuapi nasi dari tangan perempuan. Hanya setiap bangun tidur, aku diam-diam membuat benteng. Mimpiku melulu mencintai banyak perempuan. Di ranjang, aku paling akhir yang tidur.
Perempuanku mulai tua dan penuh kecemasan. Dia selalu memeriksa sepatuku. Meskipun aku mengatakan tubuhmu tidak terlalu gemuk. Perempuanku mulai tua dan penuh kemarahan. Dia selalu merobek pakaiannya. Meskipun aku mengatakannya, warnanya tidak begitu kusam.
Aku lelaki yang lahir dari rahim perempuan. Berlari dan minta diperhatikan perempuan. Setiap mampir di warung kopi, aku membangun banyak keluarga. Mimpiku melulu punya selusin anak. Di semester akhir sekolah anak-anakku, aku paling takut pergi ke sekolah.
Aku bersembunyi dalam pertemuan-pertemuan sesama lelaki.
Aku lelaki yang mencintai perempuan. Aku selalu berlari bersama mimpiku. Aku lelaki yang lahir dari rahim perempuan.. Aku selalu berlari bersama mimpiku.

2008

Jumat, 09 Januari 2009

Oleh T. WIJAYA

Saat dilahirkan, 200 juta anak-anak marah terhadap sejarah. Lahir dari rahim dan vagina yang dipaksa. Bayang-bayang melayang dalam imajinasi kemenangan.
Di taman kota yang terbakar, mereka pandai menghitung senjata. Seperti hidup harus merusak bunga, dan menggergaji dada.
Mereka tidak dapat pulang. Selalu pergi menyapa kota dengan kemarahan. Dor! Dor! Peluru dari senjata anak-anak melintasi meja diskusi kita. Kita penuh kecemasan, tapi selalu memaksa mereka lahir sebagai kemarahan.
Menjelang dewasa, tanpa dididik mereka membakar taman kota. Gesit membangun parit buat mengalirkan darah musuh-musuhnya. Menjelang dewasa, tanpa dididik mereka melilitkan bom di tubuhnya. Mati sebagai berita yang menghentikan lintasan iklan, meskipun hanya dua menit. Menandai sejarah dalam orasi para orangtua mengenai keyakinan. Keyakinan tidak semua manusia masuk surga. Entahlah. Kuharap anak-anakku tetap menangis hingga dewasa.

2008

Video MUSI MENGALIR

Slide Keluarga