Senin, 29 Desember 2008

Sajak. T.WIJAYA

Tahun baru, kita tidak dapat berhenti mencuci piring dan cangkir. Setiap hari, piring dan cangkir selalu kotor. Mulut-mulut kita tidak takut kiamat. Mulut-mulut kita tidak mau didahului kematian. Mulut-mulut kita membangun perang.
Tahun baru, kita tidak dapat berhenti mencuci piring dan cangkir. Buruh-buruh yang membuat sabun, selalu bergaji murah. Mereka percaya tahun baru sesuatu yang percuma. Seperti istriku yang selalu marah, cemas pada kalender mengurangi daya tahan kulit terhadap matahari. Harapan semacam keyakinan di atas bukit tak ada piring dan cangkir yang kotor.
Tahun baru, warung-warung terus menyediakan sabun. Piring dan cangkir selalu kotor.
Tahun baru, adakah negara yang dapat menghentikan mulut-mulut melahap daging dan ikan yang menjijikkan?

2008

Kamis, 25 Desember 2008

Sajak T.Wijaya

Benteng ini tidak menghadap laut. Lubang senjatanya menghadap teras rumah panggung orang uluan. Perempuan setelah 6 abad, yang menatapnya, mengeluh sepanjang hari. Mereka membayangkan sultan membagikan beras dan minyak sayur. Lalu meraba bulu dadanya.

Benteng ini membuat musuh menguasai laut. Dari seribu langgar yang menusuk sungai Musi, mereka menulis silsilah sebagai penguasa laut, yang dilahirkan kembali dari rahim Fatimah. Setelah 6 abad, perempuan yang membacanya, mengeluh sepanjang hari. Bertolak pinggang di tangga rumah: Aku babu yang ditiduri dan tidak diberi gaji!

Benteng ini jelas-jelas jauh dari laut. Jelas pula, aku tidak dapat berenang, tapi rindu air terdalam hingga dingin menyentuh pasir berlumpur. Hitam. Berjalan pelan-pelan di bawah perahu yang lapuk dan kakus sepanjang tepian.

Aku menemukan kitab-kitab yang ditulis Ratu Sinuhun, dan dibuang para panglima yang calon selirnya menggoda raja.

Benteng ini sebenarnya di perut laut. Laut minyak bumi dan batubara, yang membuat perempuan setelah 6 abad, tidak mampu berhenti mengeluh. Mereka bosan menatap tongkang-tongkang yang gagah meninggalkan uluan, buat menemui pangkuan laut. Benteng ini hanya tentara. Di gerbangnya, perempuan setelah 6 abad menjerit saat beranak: Aku bukan Cat Woman!

2008

Natal, Isa Kehilangan Sepatu

Oleh T. WIJAYA

Natal datang seperti yang lainnya. Semua memuja. Di bawah kelembaban kolong rumah panggung dan rasa lapar yang penakut, Isa telah kehilangan sepatu. Kakinya berdarah menemui janda itu. Isa menyusup dari jendela, yang tabirnya dipenuhi dahak berdarah janda itu.
Isa, aku tetap cinta padamu, biarlah sepatu itu membakar mereka berabad-abad yang sakit, bisiknya. Sesak lepas sekian detik.
Natal menari seperti yang lainnya. Mereka menari, meskipun tiang jembatan Ampera menusuk bulan. Bulan menyusul, dia berdarah seperti Isa dan janda itu.
Isa terus menemui janda itu. Kakinya terus berdarah. Jutaan kilometer dia berjalan. Menembus padang pasir yang tumbuh di dada para pencuri sepatu.
Tuhan, mengapa tidak Kau gergaji tanganku?
Isa terus berjalan. Dia menemui janda itu. Kakinya terus berdarah. Di puncak Dempo, dia menguburkan jasad janda itu. Tak ada hujan semanis itu. Burung-burung bernyanyi.
Tuhan, mengapa Kau biarkan kami hidup abadi?
Isa terus berjalan. Muhammad menangis. Kami menangis. Semua menangis. Darah terus mengucur dari telapak kakinya, hingga ke jari-jari para malaikat. Mereka pun menangis. Tuhan, mengapa kami harus mengenakan sepatu?

2008

Selasa, 16 Desember 2008

Sajak T. Wijaya

Jika kau mengkhayalkan seseorang, satu hari dalam hidupnya kau akan dipeluknya. Bila seseorang banyak dikhayalkan pemujanya, jangan diharap dia hanya memelukmu. Layaknya Tuhan, dia menciptakan badai lalu melupakannya dengan ciuman sampai betisnya basah.
Jadi memilihlah dalam mengkhayalkan seseorang, agar kau tidak sesat atau dimakan para pemujanya.
Penyair yang gagal, kataku, terlalu banyak mengharapkan pelukan. Akhirnya, duduk menghirup kopi, menghisap rokok, sakit paru-paru, ikut antri menerima bantuan makan dari pemerintah.
Kuharap, kau mengkhayalkan seseorang di surga. Namun kekasih yang gagal, mengibaratkan dirinya bidadari atau pangeran, yang dikhayalkan banyak penyair.

2008

Minggu, 14 Desember 2008

Sisa Revolusi

Sajak T. WIJAYA

Sangkar di teras rumah ini kehilangan burung. Di hadapan bunga-bunga dia menjadi kotor, bau dan kaku. Sepatu-sepatu yang pernah dikenakannya kian takut menatap jalan. Tua dan tidak lagi bekerja di pabrik-pabrik.
Dulu, sepasang burung dan beberapa anaknya membangun sangkar ini. Musim hujan dan panas yang melapukkan kepercayaan diri, mereka sapa dengan kepala menatap langit.
Apa yang terjadi?
Bunga, sepatu, sandal, tidak lagi bekerja di pabrik-pabrik. Mereka seperti Tan Malaka yang mati di luar sangkar ini.
Burung-burung dunia membenci sangkar ini. Katanya, biarlah mati digulung badai.

2008

Kamis, 11 Desember 2008

Sajak T.WIJAYA

Ratna, kau boleh selalu pergi, tapi selimut tak pernah terbang dari ranjang ini. Sesekali bayangan anak-anak membacakan puisiku, di bibir ranjang. Puisi tentang cinta yang membara sepulang dan menuju sekolah. Ada juga kata-kata kemarahan pada ilmu pengetahuan yang membuat kita bermusuhan, meskipun guru tak mampu menjelaskan Tuhan kian banyak.
Ratna, kau boleh menertawakan aku, tapi aku selalu terjaga. Menanti kesadaran sesungguhnya. Tidak pura-pura bersama kekasih yang datang buru-buru, lalu menyediakan kopi saat pagi hari, atau menyambut teleponnya dari sebuah kampung industri.
Ratna, kau boleh selalu terbang, tapi aku selalu mencintai pohon yang kutanam di halaman rumahmu. Buah-buahnya bagai kebun milik petani yang kita bicarakan setiap kali guru memarahiku menulis puisi di kelas itu.
Ratna, kau boleh selalu mati, tapi aku selalu membangunkanmu di kamar yang biru. Biru seperti langit yang menjaga Tuhan kita.

Ratna, cahaya itu. Tidak seperti yang dibayangkan para sahabat yang ketakutan pada puisi.

2008

Senin, 08 Desember 2008

Menangis di Rumah Saja

Sajak T.WIJAYA
Menangis paling mengigit kesedihan. Yakni anak-anak yang selalu diminta upacara bendera tiap Senin. Menghadap matahari tanpa permen dan coklat. Harapannya mencair dalam keringat ayah dan bunda yang ketakutan.

Pulanglah, anakku. Menangis di rumah saja. Tolong bawa koran. Kita menyewa koran buat memberitakan bunuh diri dan perampokan. Pada halaman depan, musim perwakilan tidak pernah menurunkan ongkos angkutan umum.

Menangis paling menggigit kemarahan. Yakni anak-anak yang selalu dipaksa mengerti nasib guru. Seperti kambing-kambing yang dikorbankan lebaran ini.

Ibrahim! Ibrahim! Jangan menangis anakku. Bukan ayah dan bunda yang tiba-tiba mendapatkan wahyu. Mimpi kami selalu batu. Dilemparkan jauh-jauh ke kolam air mata. Jangan ajak kelahiranmu. Pulanglah. Menangis di rumah saja.

Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja.

2008

Video MUSI MENGALIR

Slide Keluarga