Senin, 02 Juni 2008

Bapak, Aku Ingin Menjilat Dengkulmu









T. WIJAYA
Bapak, Aku Ingin Menjilat Dengkulmu

Bapak, aku masih orang-orangan. 38 tahun menunggu kedatangan Indonesia. Melulu pesan asing yang masuk ke telepon genggamku. Bapak, aku ingin menjilat dengkulmu. Berikan ruang. Jangan rayu anggota dewan dan menterimu memotong lidahku.

Sungguh, aku melihat dengkulmu seperti es krim yang dipenuhi susu dan madu. Aku tidak berharap minyak tanah dari dengkulmu. Aku juga tidak mau dibuang sebagai anjing-anjing penjaga candi.

Bapak, aku ingin menjilat dengkulmu, seperti keinginan para perempuan yang pernah melayaniku. Menghisap manisnya perjalananmu menghitung luasnya sumur dan sungai minyak bumi di kampungku. Kampung tanpa dengkul. Kampung orang-orangan.

Bapak, kami masih orang-orangan kian berbeda. 38 tahun di meja tamu Indonesia. Ayo! Ayo! Buka seluasnya dengkulmu. Jangan sedih, dan mempertanyakan perginya nyawa kami. Hargailah lidah kami. Rasakan liur dan pori-pori lidah kami. Resapi, seperti kau menyampaikan salam ketika menyambut harapan adanya Indonesia.

Sungguh, aku melihat dengkulmu melebihi indahnya dongeng kebebasan dari cafe-cafe di Paris. Jangan tutupi dengan kain-kain buatan India. Ah, aku tahu kau cemas dengan beberapa helai bulu dengkulmu. Bulu-bulu yang nyaris sama dengan bulu hidungku.

Bapak, aku tetap orang-orangan. Aku berjanji akan terus memburu dengkulmu; menjilatinya. Tunggulah, sampai kerjaku selesai mengumpulkan serpihan lidahku yang tercecer di kamar mandi kampungku. Kampung tanpa dengkul. Kampung orang-orangan.

[Sajak ini aku bacakan di hadapan anak dan istriku setelah pemerintah berencana menaikan harga BBM. Kedua anakku menyembunyikan dengkulnya sambil berteriak, ”Geli, Pak!” Sementara istriku cengar-cengir, dan berkata, ”Awas lidahmu kau gadaikan buat beli minyak.”]

2008

1 komentar:

cah bontot mengatakan...

ijin share mas .. suwun ya :)

Video MUSI MENGALIR

Slide Keluarga