Selasa, 03 Juni 2008

Bukan. Jempol Kaki.








T. WIJAYA
Bukan. Jempol Kaki.


Sehabis menyetubuhi istri, dan membiarkan dia menikmati Tuhan, aku menemukan jempol kakiku menginjak rekening listrik. Dia membayar Rp150 ribu. Lalu, jempol kakiku dan saudaranya menonton televisi. Dia digulung kriminalitas. Dicabik-cabik iklan. Dia hilang sebagai catatan 7.000 tahun lalu, di sebuah pondok di tengah Tiongkok.

Sopril!

Bukan. Jempol kaki.

Ratusan ribu tentara yang setia dengan kaisar memburu jempol kakiku. Mengalahkan padang pasir. Mengalahkan musim dingin. Mengalahkan bambu-bambu. Mengalahkan padang batu. Mengalahkan pasukan keledai. Mengalahkan dirinya.

Conie!

Bukan. Jempol kaki.

Di Berlin, 2002 lalu, jempol kakiku di bungkus dengan kaos kaki oleh perempuan Yahudi. Tahun berapa ini? Tanyaku. Dia selamat dari gelombang benua. Letusan gunung. Dan, kebencian Laut Tengah. Kini, dia menikahi seorang pemain sepakbola. Tiap pekan mereka makan di restoran Prancis. Mengoleksi patung-patung dari Bali, Lombok, arca dari Jawa dan Sumatra. Membiarkan para Indian menjaga 25 kuda di sebuah vila di tengah hutan Amazon. Sesekali mengirim e-mail ke sebuah gereja di Lebanon; anak kami bukan Yahudi. Berulang. Berulang. Ulang.

Harry Roesli!

Bukan. Jempol kaki.

Aku kembali ke kamar. Indonesia memang bodoh membiasakan kaum lanangnya memakan ikan. Otaknya terlalu cerdas untuk mengerti Tuhan menyediakan 900 bidadari di surga bagiku. Tapi, aku tidak sadar jempol kakiku menginjak lendir itu. Hingga Tuhan pun tahu sidik jempol kakiku tidak lagi mengecap punggung istriku.

Karl Max!

Bukan. Jempol kaki.

2008

0 komentar:

Video MUSI MENGALIR

Slide Keluarga