Senin, 02 Juni 2008
T.WIJAYA Jiwa yang Tersesat di Kesenian Jiwa yang tersesat di kesenian, sepatu yang tenggelam di dasar parit. Siapa pun menyapanya teringat dengan ketegangan dan permohonannya, lalu penipuan. Tidak ada tanda bagi banyak manusia. Sebab tersesat dia takut dengan kesepian, dan gagap menikmati susu sapi. Mereka tidak mungkin menjadi batu, kecuali lumpur yang diludahkan bumi berulang-ulang setiap musim hujan. Jiwa itu kini berdiri di hadapan waktu. Tangannya terkepal tapi bukan buat kesepian, kecuali biografi yang mengeluh. Lalu, menangis sampai airnya membeku di tumpukan proposal. Mereka ingin dihidupi. Dihidupi. Seperti sapi-sapi tanpa tetek. Katanya, ada kemungkinan satu puisi buat bumi bergetar sambil mencuri! Selanjutnya cukup dituturkan sebagai puyang peradaban. Bila tak cukup, kisahkan ke dusun-dusun, Amerika Serikat telah membakar banyak puisinya. Jiwa itu kini memutari kota. Bahu naik. Kepala ke atas, mempertanyakan Tuhan yang memuliakan seseorang. Jiwa yang tersesat di kesenian, tidak pernah tumbuh sehelai pun rambut di dada dan kepalanya... 2008 |
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar