Rabu, 04 Juni 2008

Monolog Cagak








T. WIJAYA
Cagak

”AKU tidak suka dengan orang komering. Nada bicaranya kasar. Pemarah. Dan, kalau diskusi mau menang sendiri. Egois,” kataku.

Udara panas.

”Berarti kau senang dengan orang Lahat atau Pagaralam?”

”Aku juga tidak suka. Mereka sama kasar dan sombongnya.”

”Wong Palembang?”

Aku tertawa. Secangkir anggur yang kuteguk membuat tubuh seperti melayang. Ringan.

”Aku tidak suka semua suku di Sumatra Selatan!”

”Mengapa masih menetap di Palembang?”

“Aku suka semua jenis ikan yang hidup di sungai Musi.”

Perempuan itu melepaskan pelukannya. Punggungnya ringan. Dia meloncat kecil dari sofa yang kami geluti sejak sore tadi. Dia berjalan pelan menuju kaca yang dibingkai ukiran kayu bermotifkan bunga teratai, berwarna coklat.

”Mengapa kau membenci semua orang? Kau juga tidak suka dengan aku?”

”Ya, aku tidak suka dengan setiap orang yang ada di Sumatra Selatan ini. Aku tidak suka. Yang kusukai hanya ikan. Ikan-ikan yang hidup di sungai Musi. Ikan yang bebas mengekspresikan dirinya. Ikan yang memakan apa saja. Ikan yang tidak terikat dengan ideologi. Ikan yang hanya menginginkan makanan, bersetubuh, dan memiliki banyak anak. Beratus-ratus anak. Beribu-beribu anak. Bila lapar, anak-anak itu rela dimakan. Yang kuat dan bernasib baik tumbuh seperti aku. Berkarakter seperti aku.”

Perempuan itu mengenakan jilbabnya, setelah mengganti pakaian tidurnya dengan celana jeans ketat, dan t-shirt berlengan panjang berwarna hitam.

”Kau benar-benar seekor juaro!”

Aku kembali tertawa. Udara kian panas. Pondok kayu yang kami sewa di tengah persawahan di dusun Pemulutan, Ogan Ilir, seperti dibakar matahari. Siang tanpa kejutan. Perempuan itu keluar dari pondok. Berlari menuju mobil Panther yang terparkir di dekat rumah panggung petani pemilik pondok kayu.

Aku terus tertawa. Tubuhku bergetar. Tubuku tumbuh sisik. Tubuhku ditumbuhi sisik. Lalu, tanganku menjadi sirip. Kakiku menyatu. Panas. Aku melompat ke sawah yang digenangi air.

CAGAK rumah itu selesai kusuguh. Cagak ketiga. Kayu cagak itu dari kayu unglen. Kuletakan begitu saja cagak itu di antara tumpukan seng yang nantinya menjadi atap rumahku.

Keringat bercucuran dari kening, pipi, ketiak, tukuk, selangkangan, dan telapak tanganku. Basah. Tapi, yang membuatku sadar tengah membuat rumah yakni aroma ketiakku. Aroma ketiakku seperti bau bulu ayam betina yang sudah sepekan mengerami telurnya.

”Bau ketiakku saat itu menjelaskan kepada siapa saja bahwa aku orang miskin. Orang miskin yang tidak memiliki rumah. Untungnya, rumahku tetap berdiri meskipun aku tidak mampu membuat cagak keempat.”

Perempuan itu kembali masuk ke dalam pondok. Dia mendengarkan ceritaku. Dia datang setelah menjadi hantu. Sejam yang lalu, mobil Panther yang dibawanya menabrak kereta api yang melaju kencang di Kertapati. Dia mau pulang ke rumah orangtuanya, yang terletak di balik pagar tembok belakang stasion kereta api Kertapati.

”Kita berdua sudah menjadi hantu. Apa kau masih membenci setiap orang di Sumatra Selatan?”

”Tentu saja. Aku tadi melompat ke sawah. Aku bertemu dengan ikan betok. Katanya, petani yang menyewakan pondok ini juga termasuk manusia pemarah, sombong, dan mau menang sendiri. Padahal, katanya, dia orang Sunda. Aneh.”

”Please! Jangan kau benci orang di luar Sumatra Selatan. Nanti terlalu banyak orang yang kau benci. Kita ini sudah menjadi hantu. Kita bebas melakukan apa saja terhadap manusia, tapi jangan kau benci banyak orang. Aku khawatir kita tidak akan lolos dari pintu akhirat.”

“Aku benci dengan mereka lantaran kita ini hantu! Buyan. Buyan nian kau ini. Lihatlah, keluarga petani itu sejak sore tadi sibuk menyembah kambing panggang yang dijadikannya sesajen buat kita. Mereka pikir kita ini mau makan daging kambing? Kasihan mereka. Kita kan hanya kasihan. Tapi, kalau kita terus membiarkannya, warga di desa ini akan percaya kalau kita ini senang dengan daging kambing. Des, apa orang Sumatra Selatan seperti ini yang pantas tidak dibenci?”

CAGAK keempat tidak berhasil kubuat. Kayu unglen sulit kudapatkan. Tidak ada lagi yang mau menjual apalagi memberinya buat keluargaku. Semuanya dieksport ke Jepang. Kecuali film kartun, makanan instan, dan bangkai mobil yang memenuhi sungai Musi.

Sungai Musi yang dulunya dapat dilalui kapal besar, kini menjadi dangkal, dan di tepiannya selain dipenuhi sampah besi dari kerangka mobil, juga sampah sepeda motor, gerbong kereta api, tanki pabrik, kapal, sehingga perahu milikku harus bersusah payah menyusuri sungai Musi.

Bekas lokasi jembatan Ampera merupakan wilayah yang paling berat dilalui. Selain hampir setengah lebar sungai Musi ditutupi badan Ampera yang patah, juga tongkang-tongkang disusun berjajar silang oleh para pemuda kampung 7 Ulu dan 10 Ulu. Bila tidak ada uang atau perempuan cantik yang dapat diberikan kepada mereka, jangan harap dapat melalui wilayah itu. Lelaki miskin yang berani lewat di wilayah itu, dipastikan dua atau tiga hari kemudian menjadi bangkai. Kenapa? Bila tertangkap, dia akan dijadikan lawan berkelahi sampai dapat dikalahkan, atau harus melayani puluhan perempuan gemuk dan berbau busuk hingga merangkak pun hanya sebuah keinginan.

Mengapa aku dapat lolos dari wilayah itu? Sebab aku adalah kamu. *

2008

0 komentar:

Video MUSI MENGALIR

Slide Keluarga