Rabu, 18 Juni 2008

Teng! Saya Mencari Cina

T. Wijaya
Teng! Saya Mencari Cina
Sedikitnya 20.100 bayi mencari susu instan. Para suami tak kuat bercinta dengan istrinya. Mama saya gagal menggoreng tahu dan ikan asin. Minyak sayur menghilang.
Udara 39 derajat celcius. Tentara menatap papa saya dengan membawa senjata api sungguhan. Teng! Teng! Cer! Saya mencari Cina.
Maaf. Cina tak ada di sini. Kami tak mampu menyelamatkan kulkasmu yang membusuk. Hidupkan api dari ketakutan kami. Bangun pasar-pasar tanpa pungutan. Cina tak ada di sini.
Ayam dan kambing masih ada di kebun. Potonglah untuk pesta itu. Tiket dan mata uang asing bukan kereta ke surga. Kami asing di Hong Kong. Sungguh! Tak ada Cina di sini. Dulu, kami Tionghoa.
Kami datang dari ratusan abad lalu, bersama kapal-kapal kayu yang dikutuk bangsa di daratan. Kami menancapkan tiang untuk rumah, dan menyusun bambu-bambu di tubuh sungai. Melayu.
Kami ke Lahat, beranak dan menyusun tradisi menanam kopi dan teh. Kami ke Sekayu, beranak dan belajar kembali mencintai emas dan padi. Kami ke Komering, bersemedi dan menjaga keturunan dari gangguan setan. Di Palembang, kami menghargai keluarga, dan menghiasi rumah dengan warna merah dan kuning. Kami kumpulkan emas, keramik, dan uang perak untuk mempertahankan hidup.
Kami menjadi Umar, Hasan, Abdurachman, atau Jamilah, setelah kapal-kapal dari Persia mendarat. Kami menjadi sekian miliar, tapi asinan bawang putih tak dapat pergi dari lidah kami.
Tak ada Cina di sini. Dulu kami Tionghoa.
Saya mengais bangunan yang terbakar itu. Hitam dan abu. Televisi dan beras membunuh sejarah peradaban Melayu.
Bayi saya melompat: “Papa izinkan saya menyusui bangkai gedung ini.” Namun tak ada puting susu yang tumbuh, kecuali jamur-jamur merah. Bayi saya membuka mulutnya. Kreak! Siapa yang mengirim api melalui kaki anjing-anjing perkotaan.
Teng! Teng! Cerrr! Saya mencari Cina. Namun, di jalan melulu tentara dengan senjata api sungguhan.
Teng! Teng! Cerrr! Saya mencari Cina. Saya menelepon Singapura dan Australia. Keduanya menjawab tidak ada.
Para suami bersemangat untuk bercinta. Ruangan selalu hangat. Setiap orang bebas menggoreng daging dan minum susu. Tak ada tentara di sepanjang jalan. Tetapi, kami menemukan tiga anak kecil yang rindu mandi di sungai Musi. Apakah kami harus mengirim mereka melalui faximili?
Saya duduk di pasar 16 Ilir, pukul 03.00 WIB. Tidak seorang pun penjual sayur dan ikan tahu ke mana perginya Cina.
Saya lelah. Masyarakat tak dapat memberi susu bayi saya. Masyarakat tak dapat memberi minyak goreng buat mama saya. Masyarakat membawa tentara dengan senjata api sungguhan.
Tiba-tiba pasar 16 Ilir menjadi gorila. Dia mencabik-cabik tubuh saya. Pasar 16 Ilir tidak peduli berapa gaji yang saya terima setiap bulan. “Kami bukan orangtuamu. Kalau mau mati, matilah,” kata pasar 16 Ilir.
Saya mencari Cina. Saya menelepon Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jawabannya: “Tak ada Cina di sini.” Saya mendesak IMF. Jawabannya: ”Mata uang apa itu Cina?”
Teng! Teng! Cerrr! Saya mencari Cina. Saya mencari Cina. Saya mencari Cina. Saya mencari Cina...
Sedikitnya 35 juta warung bingung menentukan ke mana perginya pembeli. Mereka cuma dapat membakar simbol. Para babu yang bunting, akhirnya membatalkan kelahiran. Buruh-buruh pabrik rokok, pabrik tekstil berteriak melalui media massa: “Roboh!”
Oi, saya mencari Cina. Tolonglah. Saya tak mampu mengunjungi warung-warung. Saya mencari Cina.
Maaf. Tak ada Cina di sini. Dulu kami Tionghoa. Hidupkan api dari ketakutan kami. Bangun pasar-pasar tanpa pungutan. Bangun pasar-pasar tanpa surat orang-orang pemerintahan, dan pemilik senjata api sungguhan.
Teng! Teng! Cerrr! Saya mencari Cina. Saya Tionghoa.

1998
Catatan: Puisi ini saya tulis sepekan setelah kerusuhan Mei 1998, mengenang teman-teman di 10 Ulu, Palembang. Puisi ini dibacakan sebulan kemudian di Hotel Novotel Jambi, atas undangan penyair Ari Setya Ardhy (almarhum). Puisi ini saya kutip dari buku kumpulan puisi bersama Ode, dalam tumpukan buku setelah beberapa tahun menghilang.








0 komentar:

Video MUSI MENGALIR

Slide Keluarga