Senin, 29 Desember 2008
Sajak. T.WIJAYA
Tahun baru, kita tidak dapat berhenti mencuci piring dan cangkir. Setiap hari, piring dan cangkir selalu kotor. Mulut-mulut kita tidak takut kiamat. Mulut-mulut kita tidak mau didahului kematian. Mulut-mulut kita membangun perang.
Tahun baru, kita tidak dapat berhenti mencuci piring dan cangkir. Buruh-buruh yang membuat sabun, selalu bergaji murah. Mereka percaya tahun baru sesuatu yang percuma. Seperti istriku yang selalu marah, cemas pada kalender mengurangi daya tahan kulit terhadap matahari. Harapan semacam keyakinan di atas bukit tak ada piring dan cangkir yang kotor.
Tahun baru, warung-warung terus menyediakan sabun. Piring dan cangkir selalu kotor.
Tahun baru, adakah negara yang dapat menghentikan mulut-mulut melahap daging dan ikan yang menjijikkan?
2008
Kamis, 25 Desember 2008
Sajak T.Wijaya
Benteng ini tidak menghadap laut. Lubang senjatanya menghadap teras rumah panggung orang uluan. Perempuan setelah 6 abad, yang menatapnya, mengeluh sepanjang hari. Mereka membayangkan sultan membagikan beras dan minyak sayur. Lalu meraba bulu dadanya.
Benteng ini membuat musuh menguasai laut. Dari seribu langgar yang menusuk sungai Musi, mereka menulis silsilah sebagai penguasa laut, yang dilahirkan kembali dari rahim Fatimah. Setelah 6 abad, perempuan yang membacanya, mengeluh sepanjang hari. Bertolak pinggang di tangga rumah: Aku babu yang ditiduri dan tidak diberi gaji!
Benteng ini jelas-jelas jauh dari laut. Jelas pula, aku tidak dapat berenang, tapi rindu air terdalam hingga dingin menyentuh pasir berlumpur. Hitam. Berjalan pelan-pelan di bawah perahu yang lapuk dan kakus sepanjang tepian.
Aku menemukan kitab-kitab yang ditulis Ratu Sinuhun, dan dibuang para panglima yang calon selirnya menggoda raja.
Benteng ini sebenarnya di perut laut. Laut minyak bumi dan batubara, yang membuat perempuan setelah 6 abad, tidak mampu berhenti mengeluh. Mereka bosan menatap tongkang-tongkang yang gagah meninggalkan uluan, buat menemui pangkuan laut. Benteng ini hanya tentara. Di gerbangnya, perempuan setelah 6 abad menjerit saat beranak: Aku bukan Cat Woman!
2008
Oleh T. WIJAYA
Natal datang seperti yang lainnya. Semua memuja. Di bawah kelembaban kolong rumah panggung dan rasa lapar yang penakut, Isa telah kehilangan sepatu. Kakinya berdarah menemui janda itu. Isa menyusup dari jendela, yang tabirnya dipenuhi dahak berdarah janda itu.
Isa, aku tetap cinta padamu, biarlah sepatu itu membakar mereka berabad-abad yang sakit, bisiknya. Sesak lepas sekian detik.
Natal menari seperti yang lainnya. Mereka menari, meskipun tiang jembatan Ampera menusuk bulan. Bulan menyusul, dia berdarah seperti Isa dan janda itu.
Isa terus menemui janda itu. Kakinya terus berdarah. Jutaan kilometer dia berjalan. Menembus padang pasir yang tumbuh di dada para pencuri sepatu.
Tuhan, mengapa tidak Kau gergaji tanganku?
Isa terus berjalan. Dia menemui janda itu. Kakinya terus berdarah. Di puncak Dempo, dia menguburkan jasad janda itu. Tak ada hujan semanis itu. Burung-burung bernyanyi.
Tuhan, mengapa Kau biarkan kami hidup abadi?
Isa terus berjalan. Muhammad menangis. Kami menangis. Semua menangis. Darah terus mengucur dari telapak kakinya, hingga ke jari-jari para malaikat. Mereka pun menangis. Tuhan, mengapa kami harus mengenakan sepatu?
2008
Selasa, 16 Desember 2008
Sajak T. Wijaya
Jika kau mengkhayalkan seseorang, satu hari dalam hidupnya kau akan dipeluknya. Bila seseorang banyak dikhayalkan pemujanya, jangan diharap dia hanya memelukmu. Layaknya Tuhan, dia menciptakan badai lalu melupakannya dengan ciuman sampai betisnya basah.
Jadi memilihlah dalam mengkhayalkan seseorang, agar kau tidak sesat atau dimakan para pemujanya.
Penyair yang gagal, kataku, terlalu banyak mengharapkan pelukan. Akhirnya, duduk menghirup kopi, menghisap rokok, sakit paru-paru, ikut antri menerima bantuan makan dari pemerintah.
Kuharap, kau mengkhayalkan seseorang di surga. Namun kekasih yang gagal, mengibaratkan dirinya bidadari atau pangeran, yang dikhayalkan banyak penyair.
2008
Minggu, 14 Desember 2008
Sajak T. WIJAYA
Sangkar di teras rumah ini kehilangan burung. Di hadapan bunga-bunga dia menjadi kotor, bau dan kaku. Sepatu-sepatu yang pernah dikenakannya kian takut menatap jalan. Tua dan tidak lagi bekerja di pabrik-pabrik.
Dulu, sepasang burung dan beberapa anaknya membangun sangkar ini. Musim hujan dan panas yang melapukkan kepercayaan diri, mereka sapa dengan kepala menatap langit.
Apa yang terjadi?
Bunga, sepatu, sandal, tidak lagi bekerja di pabrik-pabrik. Mereka seperti Tan Malaka yang mati di luar sangkar ini.
Burung-burung dunia membenci sangkar ini. Katanya, biarlah mati digulung badai.
2008
Kamis, 11 Desember 2008
Sajak T.WIJAYA
Ratna, kau boleh selalu pergi, tapi selimut tak pernah terbang dari ranjang ini. Sesekali bayangan anak-anak membacakan puisiku, di bibir ranjang. Puisi tentang cinta yang membara sepulang dan menuju sekolah. Ada juga kata-kata kemarahan pada ilmu pengetahuan yang membuat kita bermusuhan, meskipun guru tak mampu menjelaskan Tuhan kian banyak.
Ratna, kau boleh menertawakan aku, tapi aku selalu terjaga. Menanti kesadaran sesungguhnya. Tidak pura-pura bersama kekasih yang datang buru-buru, lalu menyediakan kopi saat pagi hari, atau menyambut teleponnya dari sebuah kampung industri.
Ratna, kau boleh selalu terbang, tapi aku selalu mencintai pohon yang kutanam di halaman rumahmu. Buah-buahnya bagai kebun milik petani yang kita bicarakan setiap kali guru memarahiku menulis puisi di kelas itu.
Ratna, kau boleh selalu mati, tapi aku selalu membangunkanmu di kamar yang biru. Biru seperti langit yang menjaga Tuhan kita.
Ratna, cahaya itu. Tidak seperti yang dibayangkan para sahabat yang ketakutan pada puisi.
2008
Senin, 08 Desember 2008
Sajak T.WIJAYA
Menangis paling mengigit kesedihan. Yakni anak-anak yang selalu diminta upacara bendera tiap Senin. Menghadap matahari tanpa permen dan coklat. Harapannya mencair dalam keringat ayah dan bunda yang ketakutan.
Pulanglah, anakku. Menangis di rumah saja. Tolong bawa koran. Kita menyewa koran buat memberitakan bunuh diri dan perampokan. Pada halaman depan, musim perwakilan tidak pernah menurunkan ongkos angkutan umum.
Menangis paling menggigit kemarahan. Yakni anak-anak yang selalu dipaksa mengerti nasib guru. Seperti kambing-kambing yang dikorbankan lebaran ini.
Ibrahim! Ibrahim! Jangan menangis anakku. Bukan ayah dan bunda yang tiba-tiba mendapatkan wahyu. Mimpi kami selalu batu. Dilemparkan jauh-jauh ke kolam air mata. Jangan ajak kelahiranmu. Pulanglah. Menangis di rumah saja.
Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja. Menangis di rumah saja.
2008
Rabu, 19 November 2008
Sajak T.WIJAYA
Hujan. Tahukah, tidak ada yang mampu mengubah warnanya. Dalam kenangan itu, ilmu pengetahuan dikalahkan romantisme segenggam ludah di dada.
Hujan. Dia pergi bersama kekasih, yang tiap rindu merampas napasnya. Dia setia duduk di teras umur itu. Cahaya terus membuat bayangannya. Membesar. Hujan.
Aku rindu hujan, yang liar membuat sungai di kepala kanak-kanakku. Aku rindu hujan, yang putus-putus menyambungkan gerbong-gerbong kereta api mimpiku: Bertemu Tuhan, protes kenapa padang pasir.
Angin hanya gagal menghubungkan kebanggaan pada hujan. Melahirkan telapak tangan pucat beku mengacak-acak tubuh agar hati-hati menyambut hujan di bumi. Dia membuat rumah, pondok, halte, cafe, hingga payung.
Hujan, bebaskan aku. Mari menikah sore ini. Hujan bebaskan aku. Pesta. Pesta. Lumpur. Lumpur. Pesta. Lumpur.
2008
Rabu, 12 November 2008
Sajak T.Wijaya
Senja Tuhan mengingatkan. Sampah. Sampah yang hidup dalam ingatan. Tidak akan bebas dari cinta. Cinta membesar. Tanpa taman. Tanpa keberanian keluar rumah. Tidur sepanjang kerinduan. Mencari mati pada kepasrahan sebuah bantal.
Mereka pulang. Berlari dari senja. Sembunyi di kamar mandi. Membersihkan sampah yang melekat di sela-sela ketiak, selangkangan, dan pabrik kecantikan juga yang memvonis.
Tanpa taman. Tanpa keberanian meninggalkan kota ini.
Senja sehabis hujan Tuhan mengingatkan. Sampah. Sampah yang menumpuk dalam ingatan. Surga kian tipis. Tipis. Sampah. O, senja.
2008
Jumat, 07 November 2008
Sajak T.WIJAYA
Musim kemiskinan belum selesai. Nelly. Nelly. Kupanggil pekerjaan di sini, saudaramu melayu yang kaya. Nelly. Nelly. Kucium keningmu di sini, saudaramu melayu yang rindu.
Gajimu kuselipkan di antara anak-anak ayam dibawa perahu tongkang yang kanyut di selat Malaka, berlari dalam gelap dan dingin di hutan Kalimantan.
Maafkan, aku harus memerkosamu. Puncak Dempo masih melukai sejarah melayu gelisah. Maafkan, matilah. Semoga lima abad menjadi terbakar. Terbakar.
Musim kemiskinan belum selesai. Nelly. Nelly. Tinggalkan Pagaralam di sini, sahabatmu melayu berkerudung. Nelly. Nelly. Berlari menembus awan. Gelap di puncak Dempo. Hujan. Hujan. Mati. Gajimu basah buat para polisi dan komunikasi. Lumpur menyelimuti jasad. Musim kemiskinan dijaga bulan.
2008
Selasa, 28 Oktober 2008
T.WIJAYA
Aku menusuk dapurku. Mencari batas surga dan neraka di dasar kuali, yang dibeli buat membangun keluarga. Bapak, ibu, anak lelaki dan anak perempuan gosong digoreng. Tidak ada kolam susu di bara api kompor. Keluarga yang tidak terselamatkan. Warna-warna mencemaskan menandai dapurku.
Lima meter dari dapurku, berjuta batang rokok menghabisi kesehatan anak-anakku. Mereka bengek menerima pendidikan, yang dijanjikan kebohongan. Selalu dikatakan gurunya, Bumi itu bundar!
Pabrik rokok merampas hak pendidikan dan kesehatan anak Indonesia. Sayang, presidenku malu-malu dengan bantuan pabrik rokok, ibarat menjaga sepakbola mengepul dari mulutku.
Hari ini seperti Bung Karno yang baru menyelesaikan sekolahnya. Orang-orang di jalan tidak menapak aspal. Tubuh mereka tersangkut di langit-langit dapur yang kian langas. Pikiran mereka selalu dipenuhi hujan. Banjir. Banjir. Banjir hingga pikiran tak mampu berenang meninggalkan bandara. Melulu di stasion kereta api menunggu tiket. Di meja makan, mereka memilih para calo tiket setiap lima tahun. Berharap tiket-tiket segera dikirimkan. Tiket hangus setiap masa kampanye.
Jadi, biarkan aku menusuk dapurku. Membacok dapurku. Biar berdarah. Dapurku sudah berdarah, sejak Bung Hatta di Belanda.
Secangkir kopi membangunkan kematianku tiap pagi. Dapurku penuh luka tusuk. Biarlah.
2008
Minggu, 19 Oktober 2008
T.WIJAYA
Tidak ada catatan mimpiku di saku celana mereka. Bungkus permen, uang logam, remahan kue, cairan coklat, melekat. Susah sekali digilas iklan diterjen. Sama-sama membuat kedua telapak tanganku panas, disusupi angin, hingga ke bibir tulang. Aromanya pesing seperti keringat yang keluar dari ketiak para pemain sepakbola, yang mahal ditonton.
Suara air menghentak, tidak memperdulikan teriakan ayam dari telepon genggam yang tidak mampu menjaga rahasia keluarga. Di hadapannya, mesin cuci membeku, sebab listrik tidak mampu menciumi penggilingan dan pengeringannya, sejak Indonesia membagikan tabung gas kepada rakyat miskin.
Kebudayaan apa ini, bila keluarga membenci kamar mandi? Semua berharap ada yang mencucikan pakaiannya. Tiap sore dan pagi, aku berteriak agar mereka membersihkan tubuh, menggosok gigi, mencuci mulut, mencuci rambut, dan membuang semua kotoran di perut.
Dan, sebenarnya aku membenci pesawat terbang yang membawa pembantu rumah tangga. Tidak ada yang mau sekolah sambil memasak dan mencuci. Semua turun ke jalan menuntut hidup gratis!
Agama mana yang mampu membuat pakaian era ini terus bersih dan wangi seperti di surga. Hanya iklan menjelaskannya, meskipun aku terus mencuci pakaian anak-anakku.
Lalu anak-anakku tidak pernah mencatat mimpiku. Mimpi istriku. Mimpi nabiku. Mungkin, pakaian sekolah mereka yang kotor, dibuat para buruh yang selalu mengeluh.
Aku mencuci pakaian anakku. Mencuci. Mencuci. Berharap mereka mencatat mimpiku. Mimpiku, bernyanyi sepanjang waktu: Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala, selalu dipuja-puja bangsa. Di sana, tempat lahir beta. Dibuai, dibesarkan bunda...*)
2008
*) Lagu INDONESIA PUSAKA
Jumat, 17 Oktober 2008
T.WIJAYA
Aku membuka bungkus permen, saat mereka menceritakan ilmu pengetahuan yang mahal. Asap rokok itu menghisapku. Seperti perempuan-perempuan nakal yang
memberiku susu dan nasi bungkus.
Permen kutelan. Dingin. Mataku berbeda dengan mata mereka. Bau mulutku pun dibenci ketiak mereka. Kami tidak sama di tepi Sungai Musi ini. Dan, aku tidak tahu bagaimana limbah amoniak itu merusak otakku yang selalu gagal menghitung tangga di meja belajar.
Permen habis kuhisap. Mereka terus menceritakan ilmu pengetahuan yang mahal.
Setiap gerak mulut mereka, abahku batu berdahak. Kental dan bernanah. Hanyut ke hilir dimakan seluang-seluang yang tidak pernah sekolah. Siapa presiden malam ini.
Sebaiknya, mungkin, kukumpulkan bungkus permen sekota ini. Kumasukan ke mulut mereka. Membusuk. Dan aku pergi bersama mobil mereka. Tabrak Ayam, tabrak batu, tabrak babi, tabrak angin, tabrak toko pakaian yang selalu diceritakan istriku.
Sapi. Sapi jiwaku yang ingin berenang mengejar pakaian dan buku sekolah anakku.
Air mata dari panci, kasur kapuk, perahu, dan tiang-tiang kayu gelam mengasinkan Sungai Musi.
Mulut mereka tidak suka. Mereka menyulingnya dengan mesin dari Jerman. Aku tidak benci Michel Ballack! Tapi mengapa ilmu pengetahuan itu mahal, meskipun di Sekolah Dasar panggung dengan seorang guru honor yang berdoa agar dilamar perwira TNI.
Aku kembali membuka bungkus permen. Mereka terus bercerita. Mulut mereka membesar. Membesar. Pintu menuju neraka.
2004
T.WIJAYA
Presiden, kucing itu beranak di dalam kaos kakiku. 56 tahun membusuk. Bagai matematika dan keluguan yang bertanduk pisau. Presiden. Please, aku kencing ke dalam lambung. Duduk saja manis, katanya. Duduk jangan angkat kaki, dan berludah ke lantai. Jangan pula melihat ke langit-langit. Ini bukan rumahmu! Teriaknya.
Ya, aku memang bukan presiden. Kita cuma menyampaikan kalimat dan kalkulator tanpa bentuk. Persis sungai yang dilipat-lipat dalam proposalmu. Presiden, ada orang-orang membaca kitab suci untukmu. Maukah kau menjamin surga bagi mereka? Aku nih takut neraka. Seandainya indah, kenapa kau pajangkan kepala-kepala itu lepas dari badan. Di mana? Di mana? Rumah tempat melepaskan hajat kebencian. Botol-botol sudah meledak di kaki-kaki VOC.
Tinggal tangan di bawah; beras murah dan senyuman Elizabeth dari internet. Persis lukisan Picasso yang terbakar di tangan penyapu jalanan. Oke, presiden, aku tidak suka dengan matematikamu yang lebih indah dari metafor-metafor penyair yang menderita asma di kotaku.
Lihatlah! Itu batuknya mengeluarkan berbaskom-baskom dahak kental. Miliaran kuman bergerak-gerak dan membangun kerajaan yang dinamakan "Dendam Seiris Donat". Ya, kau tahukan. Tahu. Aku benci dengan matematikamu. Matematikamu tidak secantik Yanti di salon yang dipenuhi lidah-lidah kucing. Matematikamu tidak seindah kebusukan para abang beca yang bertahun-tahun cuma tahu, tarik nafas dan menunggu nafasnya ditarik.
Begitu presiden. Umurmu berapa, sekarang? Aku masih gadis dan pernah dua kali menjadi perawan. Sejak Maryam tidak menulis berita kepada Tuhan, sejak kau bingung membedakan mana alkitab dan buku telepon.
Presiden, telepon aku sekarang. Aku berada di jalan. Dipenuhi tai aspal, dan setumpuk sabun-sabun yang mencair dari taman yang tak pernah ditumbuhi kembang, kecuali mereka: gay dan lesbian yang menunggu revolusi.
Presiden, kucing itu kembali beranak di dalam kaos kakiku. Mari kita masuk ke dalamnya. Ada sejuta anak-anak siap menjadi tentara dan pelayan toko. Mari kita rebus dan jemur. Asin dan gurih di lidah. Presiden, kalkulatormu kehilangan angka nol. Pergi! Cari di belakang meja tidurmu. Oi, ada bule yang mengulum kepalamu. Geli hingga muncrat sperma kekuasaanmu. Maaf, aku takut.
2001-2008
Kamis, 16 Oktober 2008
T.WIJAYA
Aku Dimarahi Istri
Seusai lebaran, aku dimarahi istri. Bon-bon bergumpal dalam gelok kering. Dia membakar dada. Dia mencuci krisis dunia di kamar mandi. Televisi membocorkan keketakutan orang kaya pada pendidikannya. Mereka anak manja yang takut anak-anak Asia di lingkungannya dewasa, tidak takut dengan petir dan hujan, apalagi hantu di tepi sungai.
Istriku membongkar vaginanya. Lihatlah! Tidak ada yang dirahasiakan Tuhan pada semut dan lidahmu, kecuali kau memimpikan harga pemain sepakbola di Inggris setiap dini hari. Temui pagi, rampok agen-agen mereka di Asia.
Istriku pembaca koran yang setia. Lugu dan pemarah. Dia percaya kamar mandi Asia menjadi penjaggalan anak-anak, ruang bunuh diri, serta lokasi film kera-kera yang lucu.
Seusai lebaran, aku dimarahi istri. Aku putuskan mengikuti sejarah penjajahan, buat menguatkan antri menerima dana bantuan pemerintah, dan bangga anak-anak kami diberi biaya pendidikan gratis.
Malam seusai dimarahi istriku, vagina-vagina yang tersimpan dalam sinetron itu tidak lagi mengharukan, kecuali lorong pelarian menemukan Tuhan menenangkan abah nusantara yang mengiris hatinya kecil-kecil, sebab demokrasi begitu mahal.
Aku tak punya jenis kelamin di Indonesia. Bodoh.
Seusai lebaran, istriku meradang di kamar mandi.
2008
Selasa, 14 Oktober 2008
T.WIJAYA
Persetubuhan yang Gagal
Tua dan berpisah. Perutmu kian besar, berlipat. Dadamu berbau. Buat apa mempertahankan cinta? Pegang saja sisi jembatan itu. Tuhan kian bulat. Kita menang buat berpisah. Meskipun perjalanan melulu diganggu pagi jelang upacara bendera itu.
Persetubuhan yang gagal itu, sering juga menggangguku.
Dadamu yang keras. Perutmu yang menggeliat. Pahamu yang mengencang. Kepalamu yang melipat ke belakang sering membangunkan kemarahan di jalan. Protes. Menombak mereka yang berbeda dengan catatan bukuku. Sampai juga harga beras ditulis di koran sepanjang dinding rumah.
Siapa yang berhak mengulang ketakutanmu atas nafsuku? Hanya tua dan berpisah. Waktu kian sempit mencatat ludahku yang kanyut ke sela-sela sungai di nusantara. Berilah sempat, dan cukup berkata; lelaki boleh mengambil waktu, melupakan persetubuhan yang gagal. Gagal yang menyisakan keringat di sela-sela paruku, hingga kini.
Selasa, 23 September 2008
T. WIJAYA
Revolusi Sapi
Subuh bukanlah sapi, meskipun haus. Sapi punya susu, walaupun subuh ini dia tertidur di kepalaku. Aku tahu, engkau tahu, semua tahu, para hakim melintas di samping mejaku. Ayo tuduh! Sapi itu telah membunuh susunya. Susu itu telah membunuh kodratnya. Kemiskinan yang terpelihara di kandangnya.
Senjata di mulut para hakim. Mereka belum mati. Belum merah betul pelurumu. Masih kuning dan hijau di jemarimu. Telunjuk dan mulutmu yang senang dengan pemberitaan. Menjemput mati sebagai pendongeng akhirnya.
Revolusi tergesa-gesa dan tidak tahan. Kawan-kawan lahir dari kemaluan sapi. Lapar melulu dengan rumput-rumput. Hanya bayangan saja padang pasir yang dipelajari. Sekolah lantaran malas belajar. Akhirnya duduk sebagai kalkulator.
Siang bukanlah sapi, meskipun lapar. Senjata di mulut para hakim. Peluru kita belum merah. Sapi punya kandang, hijau warnanya, kuning lantainya. Mereka tidak mati dengan sendirinya. Jangan biarkan malam menjadi sapi. Ini terakhir.
2008
Senin, 22 September 2008
T. WIJAYA
Para Penjaga Surga
Mereka yang lelah, berlari membuat lorong menjadi penjaga surga. Memancung kepala Soekarno dan Hatta. Menginjak-injaknya sambil berteriak, Tuhan jangan beri kolam susu dan perempuan cantik kepada mereka. Mereka menyesatkan. Indonesia mereka jadikan rumah penuh lorong, dan penuh pohon.
Bukankah itu indah? Tidak, jawab mereka. Sesuatu yang banyak, tidaklah indah. Itu suatu yang membingungkan. Kami menjadi bingung, dan kecil. Kami sulit menyeleksi mereka. Ajaranmu menjadi sulit. Satu pohon, tentulah lebih praktis dan gaya.
Bukankah itu hakKu? Tidak, jawab mereka. Kau adalah sekumpulan tradisi kami. Keyakinan kami. Bukan keyakinan sepanjang laut, dan sebanyak pasir. Kau adalah satu kristal. Kamilah penjaganya.
Surga itu kian menjadi sempit. Para penjaga surga berebut menjadi satu. Yang tidak, gugur menjadi yang sesat.
Saya kian asing dalam pergaulan surga. Mungkinkah surga harus terus dijaga?
Tuhan, bebaskan surga dari para penjaganya, aku ingin kolam susu dan perempuan cantik milik 1.003.009.553.000.111.535.222.234.333 manusia.
2008
Jumat, 19 September 2008
T.WIJAYA
Ruang Kerjaku
Tak ada yang menghubungiku. Kotaku mendadak sepi. Melayani istri dan anak-anak yang selalu dengan keinginan dan kemarahan yang sama. Mulut-mulut itu semacam wahyu yang dinantikan para pengaku nabi. Aku pun sebenarnya tidak menyiapkan banyak kata. Persis istri dan anak-anak.
Ada pesan yang melintas di seberang jendela ruang kerjaku: Tiga ayam kehilangan warna putihnya. Debu dan kotorannya telah memandikan segalanya. Matahari hanya marah. Panas saja. Hujan tak lagi.
Tiba-tiba dari kesepian. Chairil, berapa lama kau tak menulis puisi? Di ranjangmu bule-bule mulus dijepit senjata api. Pakaian perang abahku dibakar di kolong rumah. Ibuku takut suaminya melanjutkan...
Tak ada yang menghubungiku. Hutan semak merayapi kotaku. Ular, biawak, harimau, ulat bulu, tikus, bukanlah teman.
Ruang kerjaku, meledaklah!
2008
Minggu, 03 Agustus 2008
Kawanku Masuk Penjara
Kawanku masuk penjara. Dia mengirim puisi pukul 00.15. Bukan puisi, katanya. Cuma 13 orang miskin di tepian sungai Musi seperti anak ayam yang dicabuti bulunya di balik terali besi. Dia sadar, bukan miskin sebenarnya. Mereka hanya menyetrum ikan, bukan membakar Bank Indonesia. Tangisan anak dan bini, tidak terbayangkan dari dalam pesawat yang membawanya dari Hongkong ke tepi sungai Musi.
Kawanku masuk penjara. Dia tetap orang kaya. Benderanya masih tersimpan di saku celana panjangnya. Bau busuk tak lain adalah kentut, yang terkurung 3 x 4 meter. Aku teringat dengan pembuangan papa di dalam perahu selama puluhan bulan di laut Cina Selatan, katanya.
Aku juga di penjara. Ruanganku penuh tagihan utang, rekening listrik, telepon, serta setumpuk surat dari kepala sekolah anak-anakku. Penjaraku membuat banyak kata seperti senjata yang geli. Tidak membunuh, tapi orang-orang punya mimpi: Sapi terbang di atas rumah, dan beranak di setiap kantor polisi yang kelelahan menjaga sopir-sopir yang tidak mengerti jadwal salat.
Kawanku masuk penjara. Jauh dari cita-citanya, mati seperti Munir dan bahagia seperti Obama, atau petani yang tidak pernah menjual kepada kapal-kapal asing. Kawanku, tubuhnya tetap 165 centimeter tingginya.
2008
Kamis, 31 Juli 2008
T. WIJAYA
Bayangan Merupakan
Bayangan merupakan sesuatu yang membodohi dari sebuah keputusan selama hidup. Dia menyelusup pada tiap aktifitas tubuh. Maju bergerak. Mundur berlari. Mululu hitam. Dan, tiap pagi dia membesarkan dadanya sebelum mulut menghirup seteguk kopi.
Bayangan merupakan ada sampai matahari ditelan naga langit. Tidak peduli makhluk-makhluk dari ribuan galaksi mampir ke beranda rumahku. Rumah menghadap matahari. Membiarkan bayang kami menyejutkan para pedagang makanan kecil, yang sadar dunia kian miring.
Bayangan bergelombang dalam riak air, merayap mengikuti gedung, gunung, bukit, paha, kaki, jempol, dan hidungmu. Maju didorong. Mundur berlari. Melulu hitam.
Bayangan merupakan pesawat terbang yang membangunkan kau, yang tertidur di meja komputer, setelah ribuan kilometer mengunjungi percakapan video di www.youtube.com. Lihatlah, bayangan juga menemukannya. Tidak perlu miskin, berpenyakitan, atau tengah diperkosa, buat merasakannya. Hanya lepas dari kecerdasan dan pembelaan, seperti abah yang berpulang 16 tahun lalu. Ya, bayangan merupakan. Merupakan.
2008
Selasa, 29 Juli 2008
Mencari Kutu dan Uban
Kemiskinan tidak dapat menghentikan masyarakat mencari kutu, uban, di kepala penuh palu kemarahan. Mereka. Nyonya-nyonya yang berjuang menjaga beras tidak lari dari kejaran ayam, dan antrian yang penuh fitnah di kios minyak tanah, terus menjaga rambutnya. Rambutnya cuma seoles minyak sayur, dan belaian tangan-tangan tanpa kasih meremas tiap subuh. Nyonya-nyonya selalu kedinginan memulai salat subuh. Mereka.
Kemiskinan tidak dapat mendinginkan masyarakat mencari uban, dan kutu yang menumpuk di titik tengah kepala. Liarnya harapan menghisap darah. Darah. Bukan sebagai iklan yang muncul tiba-tiba menggantikan abah, yang tiba-tiba mati, menyusun agenda perjalanan ke desa. Desa yang tetap menjaga nyonya-nyonya. Mereka.
Kemiskinan tetaplah uban dan kutu yang dikalahkan waktu tanpa dapur yang diam. Melulu berteriak seperti gergaji di hutan tanpa nyonya. Mereka. Antri di belakang celanamu. Robeklah pada bagian pantatnya. Mereka.
2008
Rabu, 23 Juli 2008
T. WIJAYA
Learn to Cook History
God also like the garlic from Acun’s garden. Whether it is salted or not, is still talks by the truth, including about volcano’s eruption and the storm at the dining table. Before the knife and the fried tempe*), the new president squeezes the napkin. Then from the belly of the grimy house a river of oil springs out. It is expensive, really, to serve the garlic for God. He said that the preserverd fish is too sour and spicy!
Our mounths are sour and spicy. From sucking the rain. Inhaling the dew. There are no more gardens to be planted with mango and lanseh trees. Merely oil and oil. The dessert produced by our kitchen are animation movies and a broker’s menu.
As an Indonesian and a cook of a poor family, I must live in Bandung. Not in Aceh. Not in Atjeh. Not in the banks of the Musi*). Bandung, my stylish joyful prophet, located just a few kilometers from Jakarta.
*Musi; name of a river in South Sumatra
Selasa, 22 Juli 2008
T. WIJAYA
Almost Closed Off, 16 Land Cases
This morning there are no houses in cigarettes kiosks. Heading to Legal Aid office. Merely being helped bay Malay music inside a basin filled with soap water. My city in the eyes of a giant TV screen, this maid is pregnant with untracked history just like the untracked price of rice. Beside her, 16 land cases in South Sumatra tell me that I can’t afford to buy a state, therefoce coffe farmers plant the seeds on my face. My shirt is only worth 5 cents.
Yesterday they were working in an instant food factory, now their socks are holed and salted fish are baked upon their backs. The children of the swamps are sleeping with me. Their dreams are frozen like a can of Pepsi.
I hope the banks will transform into nice. Military will not be a new religion and the newspaper are able to become rivers, modest houses and apartements for the people. We can’t be farmers any longer! Said them. The Malay music becomes more appealing inside the basin of soap water. Stone! Iron! Let’s have a discussion. The angel opens my mouth, who is your God? I am being fled into a vinegar bottle.
Minggu, 20 Juli 2008
Tengah Malam Mati
Ini jongkok. Siapa yang mau mati? Dua detik selesaikan struktur tubuh. Tidak ada pembelaan dan kenangan bagai kaset terendam cuka. Ini berdiri. Siapa yang mau mati? Satu detik selesaikan kelahiran. Tidak ada. Tidak ada.
Mati dalam kepastian, anak-anak yang mengejutkan. Mereka menggambar senapan di kepala yang seragam. Duhai, kita telah membunuh secara bersama. Dosa yang hukum, katanya.
Ini berlari. Siapa yang mau mati? Gila pun tidak menghentikan struktur keinginan. Lari. Lari. Lari. Lari. Lari menuju lubang kematian. Gelap. Siapa sebenarnya penentu?
2008
Jumat, 11 Juli 2008
T. WIJAYA
Nyanyikan Terus
Nyanyikan terus. Nyanyikan terus. Nyanyikan terus.
Saudara, tidak perlu bertukar jasad. Kita memang satu dari ruang bukan kuasa mereka. Biarkan mereka menantang Tuhan. Nyanyikan terus. Nyanyikan terus. Saya bayi membesar, dan menyusui kerinduan akan ribuan pohon yang menyambut kelahiran itu.
Kamis, 10 Juli 2008
T. WIJAYA
Sembunyi
Ibu, jangan sembunyi. Aku tahu kau lari dari kampung itu. Tembok-tembok yang kau bangun sebenarnya sederhana. Hitam. Hitam. Lalu putih. Kini, aku penggemar berat suara-suara daun. Wajah-wajah laut memberi senyum. Tidak memaksa pisau-pisau membelah keinginan berada paling ramai di laut. Sisik-sisik di kulit mereka tidak amis. Jemarinya menyelamatkan punggungku yang dingin. Sultan, bisikku.
Wajah-wajah sungai mengikutiku hingga pesawat menghempaskan rodanya ke aspal bandara.
Rabu, 25 Juni 2008
T.Wijaya
Ciumlah, Kata Kita
Pohon itu masuk ke dalam mulutmu. Daun-daun yang dingin akhirnya membuatmu tahu, kita tidak berbeda. Buah-buah yang manis membuatmu mengerti, cinta kita tidak berbeda. Akar-akarnya membalut tubuh kita menjadi selembar kain putih. Terbang meneruskan pewarnaan pada pelangi. Terbang. Terbang.
Kita duduk pada malam itu. Menceritakan pohon yang masuk ke mulutmu. Tanpa pisau, tombak, pedang, batu. Kita malu-malu meritualkan Tuhan. Cemas jika ritual membuat Tuhan menjadi tercengang.
Sementara sungai telah jalan-jalan ke nadiku. Dia menyeret racun-racun yang membuatku gemetar dan meledak-ledak. Duhai angin dunia masih terjaga! Dia membelai kami. Dunia perlahan meninggalkan kemiringannya.
Lihatlah, kataku, pohonmu tumbuh pada tubuh perahuku. Mereka menyusuri parit-parit semua kota. Buah-buahnya memberi warna pada bibir dan mata, sehingga telinga-telinga terjaga dari paku-paku yang menjijikkan.
Dengarkan, katamu, perahumu tertidur mendengarkan nyanyian daun pohonku. Mereka menitipkan mimpi agar dunia tidak kehilangan mimpi. Bunga. Bunga. Bunga. Bunga. Bunga. Bunga.
Ciumlah, kata kita.
2008
Kamis, 19 Juni 2008
Rabu, 18 Juni 2008
Udara 39 derajat celcius. Tentara menatap papa saya dengan membawa senjata api sungguhan. Teng! Teng! Cer! Saya mencari Cina.
Maaf. Cina tak ada di sini. Kami tak mampu menyelamatkan kulkasmu yang membusuk. Hidupkan api dari ketakutan kami. Bangun pasar-pasar tanpa pungutan. Cina tak ada di sini.
Ayam dan kambing masih ada di kebun. Potonglah untuk pesta itu. Tiket dan mata uang asing bukan kereta ke surga. Kami asing di Hong Kong. Sungguh! Tak ada Cina di sini. Dulu, kami Tionghoa.
Kami datang dari ratusan abad lalu, bersama kapal-kapal kayu yang dikutuk bangsa di daratan. Kami menancapkan tiang untuk rumah, dan menyusun bambu-bambu di tubuh sungai. Melayu.
Kami ke Lahat, beranak dan menyusun tradisi menanam kopi dan teh. Kami ke Sekayu, beranak dan belajar kembali mencintai emas dan padi. Kami ke Komering, bersemedi dan menjaga keturunan dari gangguan setan. Di Palembang, kami menghargai keluarga, dan menghiasi rumah dengan warna merah dan kuning. Kami kumpulkan emas, keramik, dan uang perak untuk mempertahankan hidup.
Kami menjadi Umar, Hasan, Abdurachman, atau Jamilah, setelah kapal-kapal dari Persia mendarat. Kami menjadi sekian miliar, tapi asinan bawang putih tak dapat pergi dari lidah kami.
Tak ada Cina di sini. Dulu kami Tionghoa.
Saya mengais bangunan yang terbakar itu. Hitam dan abu. Televisi dan beras membunuh sejarah peradaban Melayu.
Bayi saya melompat: “Papa izinkan saya menyusui bangkai gedung ini.” Namun tak ada puting susu yang tumbuh, kecuali jamur-jamur merah. Bayi saya membuka mulutnya. Kreak! Siapa yang mengirim api melalui kaki anjing-anjing perkotaan.
Teng! Teng! Cerrr! Saya mencari Cina. Namun, di jalan melulu tentara dengan senjata api sungguhan.
Teng! Teng! Cerrr! Saya mencari Cina. Saya menelepon Singapura dan Australia. Keduanya menjawab tidak ada.
Para suami bersemangat untuk bercinta. Ruangan selalu hangat. Setiap orang bebas menggoreng daging dan minum susu. Tak ada tentara di sepanjang jalan. Tetapi, kami menemukan tiga anak kecil yang rindu mandi di sungai Musi. Apakah kami harus mengirim mereka melalui faximili?
Saya duduk di pasar 16 Ilir, pukul 03.00 WIB. Tidak seorang pun penjual sayur dan ikan tahu ke mana perginya Cina.
Saya lelah. Masyarakat tak dapat memberi susu bayi saya. Masyarakat tak dapat memberi minyak goreng buat mama saya. Masyarakat membawa tentara dengan senjata api sungguhan.
Tiba-tiba pasar 16 Ilir menjadi gorila. Dia mencabik-cabik tubuh saya. Pasar 16 Ilir tidak peduli berapa gaji yang saya terima setiap bulan. “Kami bukan orangtuamu. Kalau mau mati, matilah,” kata pasar 16 Ilir.
Saya mencari Cina. Saya menelepon Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jawabannya: “Tak ada Cina di sini.” Saya mendesak IMF. Jawabannya: ”Mata uang apa itu Cina?”
Teng! Teng! Cerrr! Saya mencari Cina. Saya mencari Cina. Saya mencari Cina. Saya mencari Cina...
Sedikitnya 35 juta warung bingung menentukan ke mana perginya pembeli. Mereka cuma dapat membakar simbol. Para babu yang bunting, akhirnya membatalkan kelahiran. Buruh-buruh pabrik rokok, pabrik tekstil berteriak melalui media massa: “Roboh!”
Oi, saya mencari Cina. Tolonglah. Saya tak mampu mengunjungi warung-warung. Saya mencari Cina.
Maaf. Tak ada Cina di sini. Dulu kami Tionghoa. Hidupkan api dari ketakutan kami. Bangun pasar-pasar tanpa pungutan. Bangun pasar-pasar tanpa surat orang-orang pemerintahan, dan pemilik senjata api sungguhan.
Teng! Teng! Cerrr! Saya mencari Cina. Saya Tionghoa.
1998
Minggu, 15 Juni 2008
T. WIJAYA Oi Melayu. Akulah sungai Musi. Duhai batu, jadilah sungai Musi. Duhai lumpur, jadilah sungai Musi. Duhai pabrik, jadilah sungai Musi. Duhai matahari, jadilah sungai Musi. Duhai mobil, jadilah sungai Musi. Duhai parang, jadilah sungai Musi. Duhai pempek, jadilah sungai Musi. Duhai hotel, jadilah sungai Musi. Duhai kekasih, jadilah sungai Musi. Sungai. Sungai. Sungai. Sungai. Ratusan sungai. Ribuan rumah panggung. Jutaan kepala. Miliaran tenaga mencangkul sawah, berkebun, menjaga sumur minyak, melindungi perempuan-perempuan berparas kuning. Memeluk lelaki-lelaki berambut ombak. Membesarkan anak-anak yang pandai berperahu. Oi dada, jadilah sungai Musi. Oi kepala, jadilah sungai Musi. Oi kaki, jadilah sungai Musi. Oi mulut, jadilah sungai Musi. Oi rahim, jadilah sungai Musi. Oi mata, jadilah sungai Musi. Oi bulu-bulu, jadilah sungai Musi. Pulang, jadilah sungai Musi. Pergi, jadilah sungai Musi. Tidur, jadilah sungai Musi. Bangun, jadilah sungai Musi. Malam, jadilah sungai Musi. Siang, jadilah sungai Musi. Gunung, jadilah sungai Musi. Bukit, jadilah sungai Musi. Hutan, jadilah sungai Musi. Pantai, jadilah sungai Musi. Sampah, jadilah sungai Musi. Oi Arab, jadilah sungai Musi. Oi Tionghoa, jadilah sungai Musi. Oi India, jadilah sungai Musi. Oi Minang, jadilah sungai Musi. Oi Jawa, jadilah sungai Musi. Oi Sunda, jadilah sungai Musi. Oi Batak, jadilah sungai Musi. Oi Bugis, jadilah sungai Musi. Oi Bule, jadilah sungai Musi. Oi Melayu. Akulah sungai Musi. Semua hidup. Seperti Tuhan dengan ratusan ribu mata airnya. Seperti Tuhan menjatuhkan miliaran kali hujannya. Tapi, jangan kau makan sendirian ikan seluang itu. Kita raja di bawah raja. 2008 |
Jumat, 13 Juni 2008
T. WIJAYA TBC, Yusuf Mati Yusuf mati karena TBC. Kita datang dengan cerita sedih, tapi tersenyum dan tertawa. Tiap orang membawa kalkulator kesedihan, selepas Magrib itu. Saling bertukar angka setelah memburu sebungkus rokok dan kopi, antri pula dengan kupon minyak tanah di dada. Di bawah tenda menjelang Piala Dunia 2006. Yusuf mati di dekat televisi, suster, dua adik, selembar handuk coklat berkerak jauh dari kesadaran pingsan. Orang-orang mati karena TBC. Tiap pagi dari kamar yang sulit disentuh matahari. Marah tertahan dan asap rokok bersama asap knalpot menggilas paru-paru. Kita dicatat dengan pil-pil, jarum suntik bersama menteri kesehatan yang lama. Masih ada TBC. Masih ada TBC. Selalu ada TBC. Adakah presiden atau gubernur yang mati seperti Chairil Anwar, dan menderita ibarat Tan Malaka. Pertanyaan konyol pada masa nyanyian Gus Dur ini, katamu. Wacana terlalu melambung, melewati keperkasaan Superman di antariksa. Ustad! Tolong doakan Yusuf. Biarkan kuman-kuman TBC-nya tidak mengotori surga. Cukup melepuh di dalam tanah dalam musim kemarau ini. Sumur-sumur digali kita. Mencari yang airnya tidak menyebarkan TBC. Lembab dan berbau di balik gedung ini. Di balik gedung sepanjang Indonesia. Menyedihkan memang, Yusuf tidak hadir saat dua kambing disembelih buat pesta Bahctiar disunat. Biasanya, dengan gitarnya dia nyanyikan lagu milik anak jalanan. Istri dan suami kita menutup mulut, lalu menyodorkan piring dan cangkir khusus seperti melayani anjing-anjing milik A Ming. Dan, kita selalu sigap menjaga gelas berisi kopi. Setelah Yusuf mati, kita bertanya; rumah siapa yang selalu disinggahinya. Dia pemburu kamar lembab dan berbau. Dia menyintai kekasih di balik gedung itu. Di balik gedung sepanjang Indonesia. Kita yang miskin selalu berolahraga dengan becak. Melayani cucu legislator yang bernyanyi: Becak, becak coba bawa saya. Saya duduk sendiri sambil mengangkat kaki… Ya, Yusuf, sambil mengangkat kaki. TBC masih ada. Selalu TBC. Mari kita meneliti ulang. 2006 |
T. WIJAYA Islam di Jalan Kita sudah lupa salam. Mulut penuh makanan. Saat ini di jalan, tidak ada sudut bibir diangkat sampai segarnya surga. Kerak iler seharga minyak mentah dari Saudi. Sudah tidak pagi lagi. Spanduk-spanduk dibebani cat merah, hijau dan hitam. Dulu, bangku-bangku ini penuh kekasih. Tidak sombong pada berbungkus-bungkus kemplang keliling. Dulu, rumah kami belum dijual. Dari jendelanya, bercat putih, kami mencatat salam. Salam matahari dan bulan, yang bukan minyak mentah dari Saudi. Itu rambut hitam. Rambut hitam di bangku. Manis melewati kisi-kisi jendela. Saat ini di jalan, itu kerut-kerut di kening lunturkan tanggal lahir dan kepastian mati. Boneka-boneka bugil dibakar, foto-foto direbus. Bagaimana kuburmu tanpa salam. Seakan panjang kemarahan itu dalam dekapan berjuta barel minyak mentah. 2006 |
T. WIJAYA Orang-Orang Dikejar Polisi Pamong Praja Kepung! Kepung! Gebuk! Tusuk! Gebuk! Kepung! Meskipun pedagang, sebenarnya orang-orang mencukil kacang pada tainya setiap akhir bulan. Kebun yang dipanen, pajak yang dipungut, minyak sayur yang disuling, minyak bumi yang dihisap, hanya cukup membeli tempe yang kedelainya sulit dikunyah. Itu disengaja Tuhan, mungkin. Tetapi, perut sudah bosan menguyah kerikil, sehingga hasil cukilan dapat digoreng, pagi ini: Dibuat popcorn saat nonton Superman Returns atau digosongkan, ditumbuk, menjadi kopi bersama berita bencana dan pembunuhan di media massa pagi ini. Sebelum musim sekolah, Jepang kembali meliuk, menghentak, menjilat di dada rumah tangga. Bagai anakku yang menangisi Jepang pada pertengahan 2006. Dia tidak dapat menerima keperkasaan Jepang dalam play station menjadi ubi kayu di mulut Ronaldo. Kita orang yang beruntung! Teriak istriku. Tidak jelas mau ke mana anakku mengibarkan benderanya. Dia berlari menuju sekolah yang terus vertikal tangganya. Anakku melawan beban tasnya yang berisi CD! Dia mencret. Mencret. Tapi kacangnya tetap dicukil. Tainya melekat pada aspal halaman sekolahnya. Dengan pendidikan agama dan matematika mereka membuat popcorn. Kepung! Kepung! Gebuk! Tusuk! Gebuk! Kepung! Kami pedagang yang dilempar dari dapur-dapur lembab dan busuk di sepanjang sungai Musi. 2006 |
T. WIJAYA Mangga Tiga Hari Lagi Matang Kebun mangga yang tidak terjaga. Tengah malam yang mengantuk. Tidur dan menarik napas, apakah itu cinta? Menekan akar perutmu, menjilat dan menggigit pangkal buahmu, apakah itu kesepian? Ya, dua kambing yang makan daun-daunmu kupangkas bulunya, seperti itu keinginan dari bangku belakang motor milik Eman. Siapa peduli kita melewati cela-cela perkebunan; mencari kemeja yang pantas buat lelaki 35 tahun, saat membacakan puisi tanpa bahasa Inggris. Dulu, seperti aku, sahabatku belum memiliki kwitansi pembayaran dokter anak. Dia hanya memikirkan buah dadamu. Mangga tiga hari lagi matang. 2006 |
T. WIJAYA 25 Tahun Tubuhmu Gula Semut-semut menggerayangi tubuhmu. Seekor menggigit telingamu. Terpleset di lehermu. Mereka menghisap segala yang bau dalam setiap lekuk dan patahan yang sama. Dia pingsan tiga kali dalam dua jam itu. Semut-semut yang terjaga dalam timbunan pasir di kamar pada musim kemarau, kemiskinan dan bencana alam. Landak muncul dalam pikiranmu. Lidah pucatnya kebal dari segala keliaran semut-semut aku itu. Berulang semut-semut menggerayangi tubuhmu tanpa Euro atau cukup sarung tangan. 2006 |
T. WIJAYA Awak Terus Berlari, Tetap Batu Ternate Awak terus berlari. Meskipun lagu-lagu kecemasan telah mencibit telingamu. Memang, kita adalah debu yang ingin angin segera berlalu. Kita adalah debu yang menanti setetes air. Sumpah dengan satu stel jas abu-abu! Tuhan ingin tangisan yang melekatkan kasih. Awak tak mungkin meninggalkan Ternate, Surabaya dan Palembang. Bila di ponsel, aku cuma tahu batu. Aku cuma tahu batu. Maafkan seperti seiris daging kerbau tidak enak dikunyah. Aku cuma tahu batu. Sombongku menggergaji batu. Mengusap kecemasan-kecemasan yang berdesakan di bus-bus kota dan sepeda motor buatan Cina. Tuhan! Jangan bakar serbuk-serbuk batu itu, hanya itu doa kemiskinan. Musim sudah seperti sebelumnya. Awak terus berlari, tetap batu Ternate. Bunga bukan di antara tumpukan berita dan gambar-gambar penuh kebohongan. Bunga adalah tarian mereka yang kehilangan peta sungai di Palembang. Di ketiak kita, mereka mencoba mengharumkan kerinduan kita pada anak-anak yang tidak peduli sejarah kemenangan itu. Awak terus berlari, tetap batu Ternate. Maafkan seperti seiris bawang goreng yang gosong, sombongku menggergaji batu. Tuhan menunggu dengan tiupan. Mungkin kita melekat dalam air mata surga. 2006 |
Kamis, 12 Juni 2008
T. Wijaya Cinta 2011 Manusia luka. Manusia Luka. Paku-paku menusuk cintanya. Tiket-tiket membenci kami. Terminal terlalu sepi. Ibu, aku mau pulang. Tolong cucikan pakaianku. Ibu, aku mau pulang. Tolong siram bungaku Di sini luka. Lilin menjaga pun mati. Langit meciumi tanah dalam perjalananku. Ibu, aku mau pulang. Tolong buatkan kopi buat kami yang terluka. 2006 |
T. Wijaya Cinta 2005 Aku ingin selingkuh tanpa dosa denganmu. Duduk menatap perahu layar di pantai Merajut Indonesia sebagai sebuah cinta Cinta seluas mimpiku Mimpiku orang menari di kota Mimpiku orang bernyanyi di desa Mimpiku orang bebas bicara Bebas menilai Tuhan Bebas menuju surga Bebas menolak Aku ingin selingkuh tanpa dosa denganmu. Duduk menatap mentari senja di kamar Membiarkan anak-anakku sebagai sebuah pohon Pohon serimbun mimpiku. 1993 |
T. Wijaya Meninggalkan Surga Sebagai Manusia Meninggalkan surga sebagai manusia. Menemui dapur yang menangis. Kolong rumah dingin dan berdebu melilit puluhan tahun. Menangis. Mereka membawa bedak, minyak angin, serta jimat berupa gunting dan kertas berlipat bertuliskan ayat. Jin-jin berkelahi dengan malaikat. Tali pusarku mencatatnya. Menangis. Dia menemui teman-temannya. Berlari dikejar susu bubuk. Menangis. Kursi menatapku. Dia bergoyang. Tanganku tak mampu pada menit itu. Gelombang dari langit-langit menjatuhkan kecoak ke dalam mulutku. Menangis. Dingin terus menyerang. Kuraih dan kutelan matahari mengapung di sungai Musi. Kuhembuskan pada puting susunya. Dia melompat. Malam yang panjang. Menangis. Menangis. Aku ingin membunuh manusia, tapi tubuh terus menyeretku. Menangis. Tahun itu, orang-orang lagi berharap. Dapur-dapur sepanjang sungai Musi kering. Garing. Aku diharapkan. Aku menangis. Airmataku membuat peta pada gambar Bung Karno di bawah kasur. Soeharto berulangkali bicara di radio. Tahun itu, orang-orang lagi berjualan. Tanah dan rumah terguncang, dan mereka menandai sudut sejarah. Aku diharapkan. Aku menangis. Surga. Surga. Aku diharapkan. Semua diharapkan. Tahun ini, orang-orang terus berjualan. Menangis. Soeharto ditelan radio. 2008 |
Rabu, 11 Juni 2008
T. Wijaya Aku Sangat Serius Menyintaimu Bunga yang kutanam di mimpimu terluka. Darahnya menetes sebagai airmata kebencian. Pohon-pohon menuju rumah tidak mau lagi menyapaku. Kebun rumahku terbakar. Kembalilah. Aku punya setangkai hati yang kubeli dari waktuku yang sempit. Lihatlah, aku sangat serius menyintaimu. Aku berenang di mimpimu. Napasku tinggal gelembung-gelembung. Pecah sebagai keluhan yang sepi di sudut cafe ini. Kembalilah. Kembalilah. Saksikan, aku sangat serius menyintaimu. Berikan bantal itu, biar kubenamkan proposal-proposal sekolah ini ke dalamnya. Kubakar, bila kau punya api. Berikan sepatu itu, biar kukunyah aspal jalan yang diinjaknya. Kugali seribu lubang di jalan, bila kau berikan cangkul itu. Aku menikahi mimpimu. Spermaku menjadi kerikil-kerikil di daging. Sakit. Sakit. Menusuk bunga yang kutanam bersama fotomu di kamar ini. Fotomu menjadi buah dada yang kenyal, berkeringat, dan aroma bawang disiram parfum Gucci, membuat aku berlari sekuatnya mendekaki bukit sampai subuh membangunkan orang-orang. Tuhan maha kasih! [Siapa yang akan mencegahku menelan 100 pil Rohypnol di hadapan penghulu yang bosan menunggu] 2008 |
T. Wijaya Mawar Putih Di malam ini Seorang gadis dengan mawar putih di hati Ingin mencari cinta suci Tapi telah dikhianati Oleh sejuta janji-janji Oleh sejuta kemunafikan Dan, akhirnya sepanjang malam Dia cuma menangis O, Amor yang agung, pernahkah kau memperhatikan Karena nyawanya, perlahan, perlahan menghilang Ditelan malam 1988 |
Selasa, 10 Juni 2008
T. WIJAYA Cinta 2002 Aku ingin bercinta, denganmu di tengah bisingnya kota Karena begitu banyak yang luka, dan tak mengenal cinta Aku bosan dengan kata-kata bunga, yang menjerat jiwa Bagai pohon di atas air, bagai kerikil di tengah jalan Cinta itu api perjuangan Untuk temukan kebenaran hidup Sebelum kita tidur tenang Sebagai sejarah 1991 |
Minggu, 08 Juni 2008
Telapak Cinta
Saya. Telapak kaki ini telah menyentuh puluhan buah dada perempuan yang berharap saya dapat membuatnya terbang ke angkasa. Di angkasa mereka dipuja dan menari, disiram aroma bunga dari seluruh penjuru dunia.
Saya terkapar sebagai jiwa yang bergelora dalam bisikan yang tiba-tiba. Lalu lupa. Dan, merasa benar dalam kata-kata yang bodoh. Seperti seorang lelaki tua menjual foto anak-anaknya di pasar loak. Seusai salat, lelaki tua itu melamun di teras langgar. Tuhan, keluhnya, siapa yang sebenarnya membuat dunia hanya tangga rumah dan ikan-ikan di dalam perahu.
Lelaki itu 66 tahun di kampung Suro.
Saya. Melulu airnya coklat. Tai dan buntang kanyut. Saya mengaisnya, mencari airmu. Airmu yang selalu memberikan wajah-wajah mereka. Wajah-wajah kehilangan buah dada, yang saya injak. Saya injak.
Telapak kaki itu kupijat. Cucu mencium kepala. Anak mencium telapak tangan. Tetangga mengirim undangan pernikahan. Oi, saya berlari terlalu cepat. Melompati tangga rumah dari kampung-kampung yang kini hilang.
Saya. Buka jendela. Orang-orang membacakan zikir. Orang-orang membicarakan saya. Tidak ada wajah mereka. Semuanya suara. Putih. Putih. Tuhan, keluh saya, siapa yang sebenarnya membuat gunung itu tumbuh di dapur saya. Akar-akarnya melilit tubuh saya. Kurus dan gagal menemui perempuan yang dadanya saya injak. Injak.
Mereka pun mencuci pakaian dalam cucu dan suaminya.
2008
T. WIJAYA Mengadu ke Bung Karno Bung. Bung. Bung. Bung. Bung Karno. Merdeka. Air mata kami seperti pasir. Satu-satu menerobos kelopak mata. Mulut kami seperti kompor. Satu-satu meledak. Tangan kami seperti senjata. Berebutan menembak tetangga. Dor. Dor. Dor. Dor. Dor. Dor. Bung. Bung Karno. Aku di sini. Hutan. Hutan. Kera-kera mencakari piring dan cangkir kami. Mereka berak di kebun kami. Ladang kami dijaga gajah. Mereka menginjak padi kami. Kapal dagang mereka menjaga jalan setiap pagi. Mencegat kami pergi ke sekolah. Membakar kami di setiap malam. Melumuri kami dengan keju-keju babi. Bung. Bung Karno. Bung. Merdeka! Keluargaku membeku di hadapan televisi. Bunga-bunga gagal mengirim oksigen ke setiap sudut rumah. Suamiku melulu merokok. Dia bergoyang seperti Elvis Presley. Dia duduk seperti John Lenon. Meludahi kemaluannya. Tiap senja, meraton ke jalan-jalan penuh pedagang kaki lima. Bung. Bung. Bung. Bung. Bung Karno. Merdeka. Sekarang kami tinggal di rumah toko. Keluargaku menjual pulsa telepon. Kami membiarkan orang-orang menjelaskan diri. Panjang. Panjang. Sampai telinganya meledak. Bung Karno. Kepercayaan di bawah kompor gas. 2008 |
Sabtu, 07 Juni 2008
T. WIJAYA Bel Berbunyi. Kita Bercerai. Di rawa-rawa aku menikahimu. 30 menit setelah kita dapat membaca. Guru-guru itu tidak mampu mengurusi anak-anaknya. Buntinglah, sayang. Bunting bagai aroma asam, di tengah terik matahari, yang membuat ikan-ikan sepat di kolam itu bersembunyi di bawah rerumputan. Tuhan tidak mengajari kita bercinta. Guru-guru itu yang lupa memberikan kondom. Mari bersekutu dengan sepat, tiupmu. Aku menikahimu. Pondok di belakang gedung sekolah, yang kita tiduri masih menyisahkan buku-buku bantuan presiden. Buku-buku yang membangun Amerika tumbuh di dadamu. Dadamu seluas badan pesawat terbang yang tak henti mengelilingi mimpi kita. Bel berbunyi. Guru-guru seperti kambing yang makan daun ubi. Mutar-mutar mencari sepatu. Berteriak-teriak di dalam kamar mandi. Bel berbunyi. Kita cemas. Semua siswa berlari ke rawa-rawa. Menemui para leluhurnya. Bel berbunyi. Kita bercerai. Sayang, tolong kirim anakku melalui guru matematika. 2008 |
Kamis, 05 Juni 2008
T. WIJAYA Musim Kemarau di Hotel AROMA parfum gucci masih membekas di pikiranku. Rasa ingin memeluk tubuhmu dalam musim kemarau ini terus menggelora. Sebutir keringat yang keluar dari pori-pori keningku akhirnya jatuh, persis di depan pintu lift hotel. Kau berdiri. Aku berdiri. “Semalam tidak ikut pesta?” “Pesta yang mana? Semua orang di hotel ini berpesta. Saya sendiri ikut pesta taman denganmu.” “Maaf, maaf, saya lupa. Permisi.” Aku masih berdiri. Tubuhmu yang tingginya 172 centimeter dengan ringannya menuruni anak tangga ke lobbi hotel. Aroma tubuhmu ini kali tidak dapat kutebak. Seperti sekuntum mawar segar yang tumbuh di hidungku pada saat matahari pagi memberi salam. Perpindahan lagu di hotel membuatku buru-buru masuk ke dalam lift. Wajahku masih kanak-kanak. Tidak ada kumis maupun jenggot. Rambutku masih dipotong pendek, tidak seperti rambut Jim Morisson yang kau sukai. “Lantai berapa dik?” “12, Om. ” Tidak ada yang berubah isi kamar hotel yang kupesan. Selimut kasur masih berwarna krim. Batal dan guling bersarung putih masih di posisinya; siap dipeluk dan diberi mimpi. Tirai kamar yang kubuka saat pergi tadi belum tertutup. Pelayan hotel ini tampaknya mengerti bahwa aku sangat menyukai sinar matahari. Bedanya matahari sudah menghilang dari balik kaca. AC kumatikan. Aku berharap musim kemarau ini memberikan kehangatan yang sangat kubutuhkan. Aku bosan berdiam di dalam ruangan ber-AC. Berdiskusi, memuji, berdebat dengan orang-orang berwajah pucat. “O, Tuhan. Aku bukan kanak-kanak lagi.” Cermin kamar mandi memberitahu jumlah ubanku. Memberitahu beberapa gigi grahamku berlubang. Memberitahu bulu-bulu di atas bibir dan di dagu mulai tumbuh. Air hangat menunggu tubuhku yang perutnya mulai membuncit. Ada banyak perempuan yang memeluk perut ini. Jari-jari kecil sering memainkan pusarnya. Keringat subuh selalu meninggalkan kotoran di dalam pusar. “Saya tidak meninggalkan kalian. Saya cinta kalian. Tapi saya takut bila kalian terlalu berharap. Saya harus memilih orang yang sama sekali membenci dan tidak menyintai saya. Kenapa? Karena saya bodoh. Bodoh.” Air hangat mulai dingin. Dia dikalahkan oleh kebencianku atas semua kebodohan yang kupertahankan selama bertahun-tahun. Kebodohan menjadi lelaki yang tidak dicintai. Menjadi lelaki yang asing di mata perempuan yang sebenarnya orang biasa. “Aku tidak mau ke Jerman. Aku suka musim kemarau.” “Aku tidak suka ke Paris . Aku suka musim kemarau.” “Aku benci Belanda. Aku suka musim kemarau.” PELAN-PELAN aku merebahkan tubuh ke kasur. Aku masih berpikir panjang untuk menyalakan televisi. Di luar langit mulai dipenuhi bintang. Lampu-lampu dari rumah dan kendaraan di kotamu ini seperti kilasan mimpi yang asing; ramai tanpa makna. Seperti suara istriku yang selalu panik setiap kali mendengar ada orang lain yang lebih kaya darinya, lebih bahagia dari keluarganya, atau mengkritik berat tubuhnya. “Kau bukan siapa-siapa! Aku kasihan padamu.” Dia seperti ratu Inggris yang dinikahi seorang tukang batu dari Jerman. Menyesal seumur hidup. Aku lihat fotonya. Mungkin kau akan bilang ternyata di dunia ini ada orang yang tidak menyukai cita-citaku. “Aku harus tahu bagaimana hidup tanpa mitos. Prustasi. Rendah diri. Yang semua itu membuat suatu kemarahan yang luar biasa, sehingga taman pun dia bilang tidak seindah kamar mandinya.” Sudahlah. Aku berusaha mengingat aroma parfum Gucci itu. Keringat menyelimuti tubuh. Mungkinkah musim kemarau ini seperti yang kuharapkan; membakar ruang ber-AC yang bertahun-tahun bertemu dengan orang-orang berwajah pucat. Bel berbunyi. Bel berbunyi. Bel berbunyi. Bel berbunyi. Bel berbunyi. “Mau saya temani sebagai apa pun?” Siapa yang bodoh? Siapa yang bernasib baik? Kamar hotelku menjadi sangat luas. Setiap sudutnya dipenuhi bunga mawar merah dan putih. Ribuan botol parfum beterbangan. Matahari pagi lahir kembali. “Maaf, saya masih kanak-kanak.” “Ya, saya tahu. Saya membawa seribu semut hitam. Mana tubuh kecilmu?” “Baiklah. Tapi izinkan saya mengukur tinggi tubuhmu. Apakah betul 172 centimeter seperti yang saya perkirakan?” Ibu, aku tidak sekolah lagi. Tidak pulang lagi. Musim kemarau membakar tubuhku seperti yang aku mimpikan di ruang ber-AC selama ini. (*) |