Senin, 02 Juni 2008

Bos, Saya Berhenti Menggergaji Batu









T.WIJAYA
Bos, Saya Berhenti Menggergaji Batu

Sebenarnya saya berhenti menggergaji batu. Saya menelan batu, Bos. Sebab bukan lagi 63 anak sungai dan 2.300 jenis ikan. Kebutekan air membuat semua penuh lumut, lumpur, serta anak-anak tangga di mulut. Istri saya yang terus menggergaji batu.


Ceritanya bermula kita bergulingan di kamar mandi, Bos. Penis saya meluncur di lantai berlumut dan pesing, bagai kecemasan menusuk dada sehabis menonton ibu dimakan anaknya di televisi. Lalu, katamu, Bos, jangan ulangi pertemuan ini. Saya bagai jas hitam dibungkus beribu-ribu kondom, dan papan nama kantor saya dijepit pahamu.


Bos, saya berhenti menggergaji batu. Berhenti.


Bos, saya mandi atau tidak mandi, biarkan bersisik. Saya tidak mau belajar agama dari suaramu. Masjid kian membesar dan megah, seperti puluhan jembatan melintasi sungai Musi, di antara makam orang miskin.


Dulu, kita timbun sungai, dan gali tanah. Katamu, nenek moyang kita ajarkan kekebalan dengan kebingungan ini. Kebingungan tersebut. Kebingungan tertentu.


Sungguh, Bos, saya berhenti menggergaji batu. Istri saya yang terus menggergaji batu, meskipun saya tahu dia bukan betok atau gabus, yang tidak pernah dikalahkan kemarau dan banjir.


Saya bosan kehilangan kebun, dan perahu. Saya bukan rombongan ke New England . Saya bukan penari telanjang di café-café sepanjang Bangkok . Tolong, Bos, biarkan kulit saya bersisik.


Saya tidak takut dengan kodok. Biarkan dia bersejarah dengan lidah dan perutnya. Catat, Bos, saya bakar kapal-kapal dari Macau jika kembali membawa batumu.


Saya tidak takut digoreng, kemudian dicecel bersama kecap, cuka, dan sambal, ke dalam mulutmu.


Saya Tionghoa. Saya berhenti menggergaji batu. Biarkan istri saya yang menggergaji batu. Saya ingin masuk surga bersama makam orang miskin yang kaya.

2006

0 komentar:

Video MUSI MENGALIR

Slide Keluarga